Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

TikTok Jadi Panggung Baru YSL, Strategi Efektif atau Turun Kelas?

Screenshot_20250729_135043_TikTok.jpg
Ilustrasi Yves Saint Laurent (YSL) Beauty Indonesia di TikTok Live (Dok. Fortune IDN/Desy Y.)

Jakarta, FORTUNE - Alih-alih tampil elegan di balik etalase butik mewah atau halaman majalah fesyen premium, Yves Saint Laurent (YSL) Beauty Indonesia kini menyapa konsumen dari tempat yang tak biasa: layar ponsel pengguna TikTok Live, lengkap dengan suara host ceria, kupon diskon kilat, dan keranjang belanja yang terus berdenting.

Langkah yang mencolok ini pun mengundang banyak pertanyaan: apakah YSL sedang menyusun strategi jitu untuk menjangkau konsumen muda, atau justru mempertaruhkan warisan eksklusifitas yang telah lama mereka jaga?

Keputusan YSL untuk tampil di TikTok Live menandai pergeseran penting dalam strategi merek mewah global. Di tengah kompetisi dan perubahan perilaku konsumen, merek asal Prancis ini tampaknya sadar bahwa kemewahan hari ini bukan lagi sekadar jarak dan prestise, tapi tentang kedekatan, koneksi emosional, dan kemudahan akses secara real time.

“Langkah YSL ini mengejutkan industri,” ujar Yuswohady, Managing Partner Inventure dan pakar pemasaran, Selasa (29/7).
“Selama ini brand-brand mewah sangat menjaga eksklusivitas, sementara YSL justru mengambil risiko besar dengan terjun ke platform yang sangat publik dan massal seperti TikTok," katanya, menambahkan.

Menurut Yuswohady, kehadiran YSL di TikTok bisa dibaca sebagai eksperimen strategis untuk menjangkau generasi muda—khususnya Gen Z dan milenial—yang menjadi pasar masa depan luxury brand.

“Gen Z itu digital native yang melihat brand bukan dari butik mewah, tapi dari layar ponsel mereka. Kalau luxury tidak hadir di ruang itu, mereka akan jadi museum,” ujarnya.

Langkah YSL tak lepas dari dinamika social commerce yang sedang meledak di Indonesia dan Asia Tenggara. TikTok Live menciptakan budaya belanja impulsif dan FOMO (fear of missing out)—dua elemen psikologis yang sangat kuat dalam mendorong keputusan pembelian.

Yuswohady juga menjelaskan, dari sisi positif, strategi ini dapat membuka akses ke pasar baru yang sebelumnya belum tergarap, meningkatkan brand awareness secara masif, terutama di kalangan digital savvy, dan mempercepat penjualan melalui interaksi langsung yang personal dan real time.

Namun di sisi lain, konsekuensinya tidak kecil. Ada beberapa yang menjadi sorotan, yakni risiko turunnya citra eksklusif, karena tampil terlalu “ramah” bisa dianggap mengurangi kesan prestisius. Kedua, kemungkinan salah persepsi, bahwa YSL kini bukan lagi merek kelas atas, tapi hanya sekadar produk kosmetik premium yang mudah dibeli siapa pun. Ketiga, membuat jarak YSL dengan luxury brand lain kian besar, karena mayoritas kompetitor masih mempertahankan strategi “keep the distance”.

“Luxury di era digital harus memilih: relevan atau eksklusif. Tapi sangat jarang bisa punya keduanya secara utuh,” kata Yuswohady.

Langkah YSL tidak berdiri sendiri. Meskipun masih sedikit, beberapa brand mewah mulai menguji air strategi digital massal. Dior dan Lancôme pernah mencoba live stream interaktif di Cina. Di Indonesia sendiri, YSL jadi pionir luxury brand yang terjun langsung lewat TikTok Live.

Mungkin ini awal dari tren baru: kemewahan yang menyapa langsung, bukan menunggu disapa. TikTok Live memungkinkan narasi baru dibangun, bukan dengan keheningan butik dan sapaan pelan pramuniaga, tapi lewat interaksi cepat, emoticon, dan checkout instan.

Apakah langkah YSL di TikTok Live adalah terobosan cerdas atau blunder? Jawabannya mungkin tidak hitam-putih. Di satu sisi, ini menunjukkan keberanian merek legendaris untuk berubah dan menyentuh konsumen baru. Di sisi lain, langkah ini membuka celah besar terhadap hilangnya aura mewah yang menjadi jantung identitas mereka.

Yang jelas, YSL memilih beradaptasi, bukan bertahan di zona nyaman. Di era digital yang serba cepat dan berisik, kemewahan yang terlalu sunyi bisa jadi tak lagi terdengar.

“TikTok bisa jadi jalan pintas ke relevansi, tapi apakah itu jalan panjang menuju kehilangan eksklusivitas?” ujar Yuswohady.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Pingit Aria
EditorPingit Aria
Follow Us