MARKET

Mata Uang Kripto Berayun usai Rilis Data Inflasi AS

Bitcoin diprediksi kembali naik jelang pengetatan moneter.

Mata Uang Kripto Berayun usai Rilis Data Inflasi ASShutterstock/Wit Olszewski
13 December 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Harga bitcoin melonjak usai Indeks Harga Konsumen (CPI) November yang dirilis Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat (AS) naik hingga 6,8 persen year on year (yoy), atau tertinggi sejak Mei 1982 yang mencapai 6,9 persen. Para trader, yang mencermati CPI negeri Paman Sam dan menggunakan cryptocurrency sebagai lindung nilai terhadap inflasi, ramai-ramai menyerok bitcoin hingga naik 2 persen dandiperdagangkan sekitar US$50.000 dalam beberapa menit setelah data dirilis. 

Namun daya ungkit inflasi tersebut tak berlangsung lama. Dalam beberapa jam setelahnya, harga bitcoin terperosok hingga di bawah level US$48.000. 

Mengutip coinmarketcap, Bitcoin diperdagangkan pada US$49,07 ribu pada Senin (13/12) siang pukul 12.30 WIB. Harga mata uang kripto paling populer itu merangkak dari US$48,66 ribu pada Minggu (12/12) pagi. 

Serupa dengan Bitcoin, harga Ethereum juga berayun sejak data CPI dirilis akhir pekan lalu. Hari ini, pergerakannya berada di rentang US$3,97 ribu hingga US$4,1 ribu setelah anjlok ke US$3,84 ribu pada 11 Desember 2021. Sedangkan Binance bergerak di rentang US$556,31 sampai US$574,19 setelah jatuh ke US$545,31 dua hari lalu.

Pedagang Crypto mungkin mengira tingkat inflasi yang tinggi akan memberi dorongan lebih kuat bagi bank sentral The Federal Reserve untuk mempercepat penarikan stimulus moneternya. 

Pasalnnya, pada pertemuan bulan lalu, The Fed mengumumkan rencana untuk mulai mengurangi pembelian obligasi senilai US$120 miliar per bulan—suatu bentuk stimulus yang dirancang untuk membantu pasar dan ekonomi pulih dari dampak virus corona.

Pekan depan, The Fed diperkirakan akan menggandakan laju tapering untuk mengurangi pembelian obligasi pada Maret, lebih cepat dari rencana semula yakni pada pertengahan 2022. 

Lennard Neo, analis di Stack Funds, mengatakan stimulus moneter yang lebih sedikit mungkin berdampak buruk bagi bitcoin, karena harga cryptocurrency telah didukung dalam beberapa tahun terakhir oleh taruhan bahwa triliunan dolar pencetakan uang oleh Fed akan memicu inflasi. "Kami mengharapkan lebih banyak perdagangan sideways karena pandangan beralih ke pertemuan bank sentral minggu depan," katanya seperti dikutip Coindesk.

Terimbas Inflasi

Kenaikan harga kripto usai rilis data CPI bukan kali ini saja terjadi. Ketika Departemen Tenaga Kerja AS merilis CPI Oktober bulan lalu, bitcoin melonjak hampir US$3.000 dan melesat ke level tertinggi baru sepanjang masa di US$68.950. Namun dalam beberapa jam, pergerakan berbalik sepenuhnya, dan harga turun karena lebih banyak pedagang beralih untuk fokus pada konsekuensi logis dari inflasi yang lebih cepat: pengetatan kebijakan moneter oleh Federal Reserve yang mungkin mengurangi permintaan untuk aset berisiko dari saham hingga mata uang kripto.

Saat itu bitcoin diperdagangkan sekitar $47.400, turun 31 persen dari tertinggi sepanjang masa yang dicapai pada awal November, ketika laporan inflasi terakhir dirilis. Meski demikian, sejak awal tahun, Bitcoin masih naik sekitar 64 persen di tahun ini.

“Angka inflasi hari ini sedikit kurang dari yang dikhawatirkan banyak orang, tetapi kenyataannya adalah jika Anda dibayar kurang dari 7 persen lebih banyak dari tahun lalu, daya beli Anda berkurang,” kata Jason Deane, analis crypto di Ekonomi Kuantum.

Ke depan, Deane memperkirakan akan melihat pergerakan naik yang cepat dalam emas, indeks utama, dan bitcoin "The Fed tidak memiliki alat nyata yang tersisa untuk mencoba dan melawannya dan secara efektif terikat ke dalam perjalanan bersama kita semua," tegasnya.

Related Topics