Jakarta, FORTUNE - HSBC Global Research memproyeksikan ekonomi Indonesia bertumbuh relatif lambat, yakni dengan pertumbuhan PDB di bawah 5 persen. Mengapa demikian?
Menurut Chief Economist India and Indonesia HSBC Global Research, Pranjul Bhandari, pada paruh kedua 2023 ekonomi diproyeksi tak bertumbuh secara signifikan. “Ini bukan tahun untuk pertumbuhan yang tinggi, tapi lebih pada tahun dengan pemulihan pertumbuhan secara bertahap,” jelasnya dalam sesi wawancara khusus dengan sejumlah media di Jakarta, dikutip Senin (29/5).
Sebab, Pranjul menilai, saat tahun politik umumnya investasi dan konsumsi turut tertahan. Itu karena para investor cenderung menunggu dan meninjau (wait and see) kondisi pasar menjelang tahun pemilu. “Dalam putaran tahun politik, orang lebih sedikit menginvestasikan uangnya, ini sangat normal terjadi di semu negara,” katanya.
Selain momen prapemilu, ada sejumlah faktor lain yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia di paruh kedua. Pertama, ekonomi dunia yang relatif melambat karena ketidakpastian. Lalu, beberapa negara dengan ekonomi besar mengetatkan kebijakan moneter dan fiskal beberapa waktu belakangan. Seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa.
Kendati demikian, pertumbuhan bertahap di paruh kedua bukan berarti hal buruk. “Sebab saat pemulihan pertumbuhan terjadi bertahap, stabilitas makro terjaga dalam sistem, inflasi tetap lambat, defisit transaksi berjalan tetap rendah,” jelas Pranjul.
Pertumbuhan lebih tinggi pada 2024
Lebih lanjut, HSBC Global Research memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 akan lebih tinggi dari 2023, setelah proses pemilu selesai secara keseluruhan. Investasi multisektor diperkirakan akan bertumbuh seiring dengan naiknya konsumsi hingga biaya konstruksi.
Ditambah lagi, Pranjul memproyeksikan nilai tukar rupiah akan lanjut terapresiasi sampai dengan 2024. Apa katalisnya? Dari kuatnya pendanaan eksternal pemerintah hingga tren pertumbuhan ekspor logam olahan.
“Ambisi Indonesia jauh melampaui [ekspor] logam olahan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengembangkan ekosistem EV dan beberapa investasi EV sedang berjalan, dari baterai hingga pabrik produksi EV,” katanya.
Beberapa di antaranya, yaitu: smelter nikel Vale Indonesia yang bermitra dengan Zhejiang Huayou Cobalt dan Ford Motor; pabrik produksi EV milik Hyundai Motor, Toyota, Mitsubishi, dan Foxconn; serta pabrik baterai milik LG Energy Solutions.