Anggaran MBG Naik 96% di 2026, Ekonom: Persempit Fiskal & Risiko Utang

- Anggaran Makan Bergizi Gratis (MBG) naik 96% di 2026 menjadi Rp335 triliun dari Rp171 triliun di 2025.
- Presiden Prabowo Subianto berharap anggaran MBG dapat menjangkau 82,9 juta siswa, ibu hamil, dan balita serta membangun Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).
- Ekonom Achmad Nur Hidayat menyatakan risiko persempitan fiskal APBN dan peningkatan rasio utang pemerintah akibat anggaran jumbo MBG.
Jakarta,FORTUNE – Alokasi anggaran Makan Bergizi Gratis (MBG) akan mencapai Rp335 triliun pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Bahkan, anggaran MBG ini naik 96 persen dibandingkan dengan alokasi anggaran APBN 2025 yang ditaksir sebesar Rp171 triliun dari sebelumnya hanya Rp71 triliun.
Hal itu diungkapkan Presiden Prabowo Subianto dalam pembacaan RAPBN 2026 dan Nota Keuangan di Jakarta,(15/8). Presiden berharap MBG dapat menjangkau 82,9 juta siswa, ibu hamil, dan balita. Anggaran ini juga akan dimanfaatkan untuk membangun Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). "Kita bangun generasi unggul anak-anak kita melalui MBG. Generasi unggul lahir dari tubuh sehat dengan gizi terpenuhi," kata Prabowo.
Namun demikian, dibalik anggaran jumbo MBG, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menyoroti berbagai risiko yang membayangi struktur APBN 2026. Ia menilai, keputusan ini akan mempersempit ruang fiskal APBN yang sudah terbatas.
Rasio utang pemerintah dikhawatirkan bakal meningkat akibat program MBG

Ia menjelaskan, belanja negara pada APBN 2026 dipatok sekitar Rp3.786,5 triliun dengan target defisit 2,48 persen PDB. Sedangkan, porsi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dengan konstitusional mencapai Rp757,8 triliun.
“Di tengah postur itu, MBG mendekati 9 persen dari total belanja dan setara lebih dari 40 persen anggaran pendidikan. Di satu sisi, tekad memperbaiki gizi dan kualitas SDM adalah investasi sosial yang tidak boleh ditawar. Di sisi lain, ruang fiskal kita terbatas,” kata Achmad.
Selain itu, ketergantungan pada pembiayaan utang juga diprediksi bakal meningkat. Keputusan ini tentunya dikhawatirkan bakal meningkatkan rasio utang pemerintah. Di era suku bunga global yang belum sepenuhnya reda, lanjut Achmad, biaya dana juga berpotensi menanjak dan beban bunga akan menyita porsi belanja tahun-tahun berikutnya.
Selain itu, risiko implementasi di lapangan juga tidak kecil seperti pasokan bahan baku, standar kualitas dan keamanan pangan, hingga pencegahan kartelisasi pemasok lokal masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Dengan demikian, Ia menyarankan agar pemerintah perlu menstandarisasi dan mempublikasikan asumsi layanan, paket gizi, serta komponen biaya logistik agar publik memahami logika angkanya dan mempercayai eksekusinya.