IESR: Indonesia Punya Potensi 333 GW Energi Terbarukan Layak Investasi

- Pemanfaatan energi terbarukan seperti PLTS dan PLTB masih jauh dari optimal.
- Potensi pengembangan proyek energi terbarukan mencapai 333 GW, dengan sekitar 61% dinilai layak secara finansial.
Jakarta, FORTUNE - Ambisi Indonesia mencapai net zero emissions (NZE) pada 2060 atau lebih cepat bukan sekadar retorika. Keseriusan ini tecermin pada kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai US$20 miliar pada 2022, yang menargetkan penurunan puncak emisi hingga 290 juta ton CO2 dan bauran energi terbarukan sebesar 34 persen pada 2030.
Komitmen tersebut merefleksikan peluang investasi raksasa pada sektor energi bersih Tanah Air. Namun, kunci untuk menarik aliran modal ini terletak pada ketersediaan data proyek yang transparan dan terencana, serta informasi pelelangannya.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menyoroti potensi teknis energi terbarukan Indonesia yang luar biasa, mencapai lebih dari 3.700 GW. Ironisnya, pemanfaatan sumber daya melimpah ini, terutama untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), masih jauh dari kata optimal.
Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Sistem Energi pada Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam diskusi media, Selasa (25/3), bertajuk "Meningkatkan Optimisme PLTS dan PLTB Sebagai Tulang Punggung Transisi Energi di Indonesia", mengatakan data akurat dan mudah diakses menjadi penting demi memicu investasi signifikan.
“Melihat potensi ini, tentu saja ada kontradiksi dengan realitas pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. Namun, temuan ini menunjukkan bahwa kita bisa bergerak lebih cepat dalam memanfaatkan energi terbarukan ini, khususnya PLTS dan PLTB,” ujarnya dikutip dari siaran pers (26/3).
Kajian terbaru IESR bertajuk "Unlocking Indonesia’s Renewable Future" mencoba memetakan potensi proyek energi terbarukan yang realistis berdasarkan regulasi tarif yang berlaku saat ini, termasuk Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022, serta ketersediaan infrastruktur jaringan listrik seperti gardu induk dan transmisi.
Teridentifikasi potensi pengembangan proyek energi terbarukan hingga 333 GW, yang didominasi oleh PLTB daratan (167 GW) dan PLTS di daratan (165,9 GW), serta sedikit kontribusi dari Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM) sebesar 0,7 GW.
Pintoko Aji, Koordinator Riset Kelompok Data dan Pemodelan IESR, menjelaskan angka 333 GW tersebut merupakan hasil simulasi finansial dan skema kerja sama pemerintah dan swasta (private-public partnership) pada sekitar 1.500 lokasi yang secara teknis berpotensi.
Dari total potensi tersebut, sekitar 205,9 GW atau 61 persen di antaranya dinilai layak secara finansial dengan tingkat pengembalian modal (equity internal rate of return/EIRR) di atas 10 persen.
"Sumber daya minihidro banyak di wilayah Sumatera, sementara potensi tenaga angin terbesar di Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Di sisi lain, energi surya memiliki potensi menjanjikan di wilayah seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Untuk mewujudkan potensi ini, pembangunan infrastruktur yang mendukung, terutama dalam hal transmisi dan distribusi energi, sangat diperlukan,” kata Pintoko.
Guna mengakselerasi pemanfaatan potensi besar ini, IESR memberikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah.
Beberapa di antaranya adalah mengakomodasi alokasi lahan untuk energi terbarukan dalam perencanaan tata ruang daerah, menyederhanakan proses pengadaan lahan untuk meminimalisir risiko investasi, dan menetapkan target pemanfaatan energi terbarukan yang spesifik untuk setiap daerah.
Selain itu, IESR juga mendorong PLN menyusun perencanaan dan perluasan jaringan ke lokasi-lokasi dengan potensi keuntungan tinggi, serta mereformasi mekanisme pengadaan. Bagi para pengembang, IESR menyarankan untuk memprioritaskan proyek dengan potensi keuntungan yang tinggi dan mengoptimalkan desain serta perencanaan keuangan.
Senada dengan temuan IESR, Herman Darnel Ibrahim, Ketua Pakar Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), menegaskan energi surya akan memainkan peran dominan dalam masa depan energi Indonesia, mengingat tantangan transisi energi yang semakin mendesak. Dalam hemat Herman, pengembangan teknologi energi surya saat ini sudah matang dan semakin kompetitif, terutama jika dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga nuklir maupun gas.