Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

IESR: Saatnya Indonesia Serius Bangun Industri Surya Terpadu

PT Namasindo Plas Gunakan Energi Surya dalam Pembuatan Botol PET Daur Ulang (Dok. IDN Times)
Ilustrasi pemanfaatan energi surya (Dok. IDN Times)
Intinya sih...
  • Indonesia menargetkan pengembangan PLTS hingga 108,7 GW pada 2060.
  • Peta jalan kajian IESR menawarkan strategi membangun industri PLTS Indonesia yang mandiri dan berdaya saing global.
  • Kajian IESR, ITI, dan BRIN menyodorkan strategi pengembangan rantai pasok dalam tiga tahapan.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, FORTUNE - Indonesia dihadapkan pada sebuah ironi besar pada sektor energi terbarukan. Di satu sisi, pemerintah menargetkan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) secara masif hingga 108,7 GW pada 2060. Di sisi lain, negara ini belum memiliki industri hulu yang mampu mengolah bahan baku menjadi komponen utama panel surya.

Menjawab tantangan ini, Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama Institut Teknologi Indonesia (ITI) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) meluncurkan kajian “Peta Jalan Rantai Pasok Industri Fotovoltaik Terintegrasi di Indonesia”. Peta jalan ini menawarkan strategi konkret membangun industri PLTS Indonesia yang mandiri dan berdaya saing global.

Langkah ini sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto yang menegaskan pemanfaatan energi surya sebagai langkah strategis kemandirian energi nasional. Sebelumnya, dalam sebuah forum internasional, presiden juga menyatakan optimisme bahwa Indonesia dapat mencapai 100 persen energi terbarukan dalam 10 tahun, didasari oleh potensi yang ada.

Masalah mendasar yang disorot adalah absennya industri hulu fotovoltaik, seperti pabrik pengolahan polisilikon, ingot, dan wafer, serta kaca low iron tempered glass.

Situasi ini kontras dengan kekayaan alam yang dimiliki. Alvin Putra Sisdwinugraha, Analis Sistem Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR, mengungkapkan data yang mencengangkan.

“Situasi ini kontras dengan melimpahnya cadangan pasir kuarsa sebagai bahan baku polisilikon. Lebih dari 17 miliar ton pasir kuarsa tersebar di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara,” kata Alvin.

Padahal, menurut IESR, melimpahnya bahan baku silika, ketersediaan tenaga kerja, dan kawasan industri dapat menekan biaya produksi polisilikon yang saat ini berkisar US$8-9 per kilogram.

Sementara itu, industri hilir sebenarnya sudah tersedia. Kapasitas produksi modul surya di dalam negeri mencapai 10,6 GW dan sel surya 9,5 GW. Namun, utilisasinya sangat rendah akibat lemahnya permintaan domestik.

Chief Executive Officer (CEO) IESR, Fabby Tumiwa, menekankan kondisi geopolitik saat ini membuka peluang emas bagi Indonesia. Banyak negara kini mencari alternatif rantai pasok teknologi fotovoltaik demi mengurangi dominasi Cina.

“Negara-negara Asia, Eropa, Afrika, Amerika Latin kini mencari alternatif rantai pasok dengan mempertimbangkan efisiensi logistik sebagai faktor utama. Indonesia yang berada di jantung Asia Tenggara dengan akses ke Asia dan Pasifik, memiliki peluang besar memosisikan diri sebagai pusat produksi PLTS di kawasan,” kata Fabby.

Menurutnya, pengembangan industri PLTS Indonesia tidak hanya meningkatkan daya saing, tetapi juga dapat menjadi sumber pendapatan ekspor baru, menggantikan batu bara yang eranya mulai meredup.

Kajian IESR, ITI, dan BRIN menyodorkan strategi pengembangan rantai pasok dalam tiga tahapan: jangka pendek (2025–2030), menengah (2031–2040), dan panjang (2041–2060).

Beberapa rekomendasi kunci yang diusulkan:

  • Pembentukan kelompok kerja lintas sektor demi menyelaraskan kebijakan investasi, industri, dan proyek strategis energi surya.

  • Pemberian insentif fiskal dan nonfiskal yang menarik bagi investor.

  • Memperbaiki aturan pengadaan, tarif, dan bea masuk komponen, serta menetapkan preferensi harga untuk modul surya lokal.

  • Menciptakan wadah sinergi dari hulu ke hilir untuk membangun industri surya yang berdaya saing tinggi dan berkelanjutan.

Share
Topics
Editorial Team
Bonardo Maulana
EditorBonardo Maulana
Follow Us