Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
For
You

Kerusuhan Matel Bukti Lemahnya Pengawasan dan Inkonsistensi Aturan

Aksi diduga debt collector alias mata elang hentikan paksa sebuah motor di kawasan Jalan Daan Mogot, Cengkareng, Jabar. (Instagram: @warga.jakbar)
Aksi diduga debt collector alias mata elang hentikan paksa sebuah motor di kawasan Jalan Daan Mogot, Cengkareng, Jabar. (Instagram: @warga.jakbar) (https://drive.google.com/file/d/14THWtML3YcURlhXGUws03YdZyp15AQJF/view?usp=sharing)
Intinya sih...
  • Pengawasan dan inkonsistensi aturan terkait jasa keuangan mesti diperbaiki.
  • OJK dinilai belum mampu mewujudkan kiprah lembaga keuangan agar lebih 'performed' dalam pengawasan.
  • Lebih dari 1,7 juta konsumen mengalami gagal bayar terhadap leasing sepeda motornya.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta,FORTUNE – Peristiwa kerusuhan yang pecah di Kalibata, Jakarta Selatan, pada 11 Desember lalu bukan sekadar peristiwa kriminal biasa. Bentrokan yang dipicu oleh aksi penagihan oleh juru tagih atau yang akrab disapa "mata elang" (debt collector) ini merupakan bukti nyata dari lemahnya pengawasan dan inkonsistensi aturan pada sektor jasa keuangan nasional.

Pegiat Perlindungan Konsumen sekaligus Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI), Tulus Abadi, menilai kejadian tersebut sebagai manifestasi dari sengketa konsumen yang mendalam. Menurutnya, insiden ini tidak boleh dipandang secara sempit sebagai kasus mikro, melainkan sebuah persoalan sistemik yang memerlukan langkah mitigasi segera dari pemangku kebijakan.

“Sejatinya kerusuhan di Kalibata adalah fenomena gunung es, yang bisa meletus kapan saja, dan di mana saja,” ujar Tulus melalui keterangan tertulis yang dikutip di Jakarta, Senin (29/12).

Tulus menunjuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas rentetan insiden penagihan yang berakhir ricuh.

Sebagai lembaga pengawas keuangan, OJK dinilai belum mampu mendorong lembaga pembiayaan (leasing) untuk meningkatkan performa pengawasan internalnya. Akibatnya, mekanisme penyelesaian sengketa antara perusahaan dan konsumen sering kali buntu dan beralih ke tangan pihak ketiga yang cenderung represif.

Ketidakkonsistenan juga terlihat jelas dalam penegakan aturan uang muka atau down payment (DP). Secara regulasi, syarat uang muka untuk kredit sepeda motor ditetapkan sebesar 30 persen dari total harga. Namun, fakta di lapangan menunjukkan realitas yang bertolak belakang. Demi mengejar target penjualan, banyak perusahaan pembiayaan yang mengabaikan aturan ini.

Masyarakat dapat dengan mudah memboyong kendaraan baru seperti sepeda motor nyaris tanpa uang muka. Promosi yang dilakukan secara "jor-joran" oleh industri otomotif ini dianggap sebagai jebakan yang mengabaikan kemampuan bayar konsumen. Dampaknya sangat masif dan membebani stabilitas ekonomi mikro.

“Dampaknya konsumen mengalami gagal bayar. Saat ini lebih dari 1,7 juta konsumen mengalami gagal bayar terhadap leasing sepeda motornya,” kata Tulus.

Angka gagal bayar yang mencapai jutaan orang tersebut menjadi sumbu pendek bagi konflik perdata. Ketika konsumen tidak lagi mampu memenuhi kewajiban finansialnya, persoalan berpindah ke ranah sengketa lapangan yang melibatkan juru tagih. Di sinilah gesekan fisik sering kali tidak terhindarkan, yang pada akhirnya merugikan ketertiban umum.

Guna mencegah terulangnya tragedi seperti di Kalibata, FKBI mengimbau adanya konsistensi kebijakan terkait penjualan sepeda motor secara menyeluruh, dari hulu hingga hilir. Kebijakan ini harus mencakup dimensi ekonomi untuk memastikan keberlanjutan kredit, serta dimensi keamanan guna melindungi hak-hak konsumen sekaligus menjaga stabilitas sosial di ruang publik.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Bonardo Maulana
EditorBonardo Maulana
Follow Us

Latest in News

See More

Daftar UMP 2026 Terlengkap 38 Provinsi, Jateng Terendah

29 Des 2025, 12:23 WIBNews