Koalisi Masyarakat Sipil: RUU TNI Bisa Beri Ruang bagi Dwifungsi
- Koalisi masyarakat sipil menolak DIM RUU TNI yang disampaikan pemerintah ke DPR karena masih mengandung pasal-pasal bermasalah.
- Perluasan di jabatan sipil yang menambah Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak tepat, merupakan bentuk dwifungsi TNI.
- Sebenarnya yang diperlukan bukanlah perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif, melainkan penyempitan, pembatasan, dan pengurangan TNI aktif untuk duduk di jabatan sipil.
Jakarta, FORTUNE – Pemerintah telah menyampaikan daftar inventarisasi masalah (DIM) terkait revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) kepada DPR RI pada Selasa (11/3).
Berdasarkan DIM tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai bahwa draf revisi UU TNI masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang berpotensi mengembalikan dwifungsi TNI dan menguatnya militerisme.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari Imparsial, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Nasional, Amnesty International Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Human Right Working Group (HRWG), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), SETARA Institute, dan Centra Initiative.
Selanjutnya, juga ada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, LBH Pers, LBH Masyarakat, LBH Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), dan Dejure.
“Koalisi menolak DIM RUU TNI yang disampaikan pemerintah ke DPR karena masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang tetap akan mengembalikan dwifungsi TNI dan militerisme di Indonesia,” bunyi keterangan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan dalam keterangan tertulis, dikutip Jumat (14/3).
Revisi UU TNI mengandung pasal bermasalah
Koalisi tersebut sejak awal memandang bahwa pengajuan revisi UU TNI tidak mendesak karena UU ini masih relevan digunakan untuk membangun transformasi TNI ke arah militer yang profesional.
Menurut mereka, hal yang perlu diubah adalah aturan tentang peradilan militer yang diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1997. Tujuannya agar prajurit militer tunduk pada peradilan umum jika terlibat tindak pidana umum demi menegakkan asas persamaan di hadapan hukum yang ditegaskan dalam konstitusi.
“Koalisi menilai secara substansi RUU TNI masih mengandung pasal-pasal bermasalah,” ungkap Koalisi Masyarakat Sipil.
Menurut mereka, perluasan di jabatan sipil yang menambah Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak tepat dan jelas merupakan bentuk dwifungsi TNI.
Penempatan TNI aktif di Kejaksaan Agung dinilai tidak tepat karena fungsi TNI sejatinya sebagai alat pertahanan negara. Sementara kejaksaan fungsinya adalah sebagai aparat penegak hukum (APH).
Sedangkan penempatan TNI aktif di KKP pun dinilai tidak tepat. KKP RI adalah lembaga sipil, sehingga tidak tepat ditempati oleh prajurit TNI aktif.
Koalisi: Seharusnya dikurangi, bukan makin ditambah
Koalisi Masyarakat Sipil juga menilai bahwa yang diperlukan bukanlah perluasan jabatan sipil pada prajurit TNI aktif. Namun, justru penyempitan, pembatasan, dan pengurangan TNI aktif untuk duduk di jabatan sipil sebagaimana diatur dalam UU TNI.
“Jadi, jika ingin merevisi UU TNI justru seharusnya 10 jabatan sipil yang diatur dalam Pasal 47 ayat (2) UU TNI dikurangi, bukan malah ditambah,” jelas Koalisi Masyarakat Sipil.
Lebih berbahaya lagi, ujar mereka, pelibatan militer dalam operasi militer selain perang tidak lagi memerlukan persetujuan DPR RI lewat kebijakan politik negara (kebijakan presiden dengan pertimbangan DPR, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU TNI 34/2004), tetapi akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) sebagaimana diatur dalam draf RUU TNI.
“Draft pasal dalam RUU TNI ini secara nyata justru meniadakan peran parlemen sebagai wakil rakyat. Selain itu, hal ini akan menimbulkan konflik kewenangan dan tumpang tindih dengan lembaga lain khususnya aparat penegak hukum dalam mengatasi masalah di dalam negeri,” pungkas Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.