AS Keluar Dari Perjanjian Iklim Paris, Ini Dampaknya ke Indonesia
AS, Tiongkok & India penghasil emisi terbesar.

Fortune Recap
- Presiden AS Donald Trump menarik AS dari Perjanjian Paris yang berdampak pada investasi negara berkembang.
- Langkah tersebut berpotensi menghambat upaya pendanaan internasional bagi Indonesia, termasuk dalam kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP).
- Kritik disampaikan oleh Pengamat dan Juru Kampanye Energi Fosil Trend Asia, Novita Indri, terkait dampak kontroversial dari langkah Trump tersebut.
Jakarta,FORTUNE - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump melakukan langkah kontroversial dengan menarik AS dari Perjanjian Paris yang berkaitan dengan menanggulangi Krisis Iklim.
Langkah itu dinilai bakal berdampak terhadap iklim investasi negara berkembang seperti Indonesia. Sebab, berpotensi menghambat upaya pendanaan internasional akibag berkurangnya komitmen AS dalam membantu negara-negara berkembang, termasuk Indonesia yang salah satunya tertuang dalam kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP).
“Perjanjian Paris seharusnya dipandang bukan hanya sebagai janji di atas kertas berisikan bahasa-bahasa teknis untuk menurunkan emisi, tapi Perjanjian tersebut adalah sebuah komitmen untuk menyelamatkan kemanusiaan. Krisis iklim sudah terjadi dan dampaknya telah didepan mata,” kata Pengamat sekaligus Juru Kampanye Energi Fosil Trend Asia, Novita Indri dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (4/2).
AS, Tiongkok & India penghasil emisi terbesar

Dalam Analisis World Resources Institute (WRI) 2023, menunjukkan tiga negara penghasil emisi terbesar diduduki oleh Tiongkok, Amerika Serikat, dan India yang berkontribusi sekitar 42,6 persen dari total emisi global.
Menurut Novita, perubahan akibat mundurnya AS tidak berarti Indonesia harus mengendorkan upaya transisi energi di tengah ancaman krisis iklim. “Sedari awal, pendanaan JETP memang buram terkait realisasinya. Ia cuma pengemasan ulang dari komitmen lama dan didominasi oleh skema utang yang berpotensi membebani Indonesia,” ujar Novita.
Di sisi lain, Ia juga menyayangkan pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia yang menyebutkan Indonesia tidak perlu terburu-buru melakukan transisi energi dam “terjebak” dalam Perjanjian Paris di tengah mundurnya AS dan belum turunnya dana bantuan transisi energi dari JETP.
“Seharusnya Bahlil menyadari betapa anti-sains dan kontroversial langkah Trump di mata dunia internasional. Jangan malah meniru dan terjebak dalam race to the bottom. Ini seharusnya mendorong kita untuk meningkatkan usaha mitigasi dan adaptasi karena kita rentan pada krisis iklim,” ujar Novita.
Langkah AS bakal pengaruhi kebijakan negara maju lainnya

Selain itu, Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Dandy Rafitrandi juga berpandangan bahwa kondisi itu akan memengaruhi komitmen negara- negara maju lainnya terhadap pendanaan dan penanganan perubahan iklim.
Apalagi, AS merupakan pemimpin dari organisasi tujuh negara dengan ekonomi maju terbesar di dunia atau G7.
“Komitmen dari negara maju lainnya akan terdampak,” ujar Dandy.
Padahal, sebelumnya dalam Konferensi Perubahan Iklim (COP) ke-29, negara- negara maju telah berkomitmen untuk mengeluarkan biaya senilai US$300 miliar dolar AS untuk menangani masalah perubahan iklim.