NEWS

Perlu 284 juta Pohon untuk Hapus Jejak Karbon Bitcoin

Itulah saran dari studi Forex Suggest.

Perlu 284 juta Pohon untuk Hapus Jejak Karbon BitcoinIlustrasi Bitcoin. (Shutterstock/Coyz0)

by Tanayastri Dini Isna KH

10 November 2021

Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Tahukah Anda bahwa aset kripto seperti Bitcoin meninggalkan jejak karbon? Bahkan, dampak lingkungan dari perdagangan kripto global terbilang besar, khususnya dari penambangan Bitcoin.

Yang mengejutkan, studi situs edukasi perdagangan dan pasar finansial, Forex Suggest, menyebut bahwa untuk menghilangkan polusi akibat penambangan Bitcoin, dibutuhkan jumlah pohon lebih banyak ketimbang aktivitas penambangan kripto lain.

“Bitcoin mengonsumsi jumlah listrik sekitar 76 miliar kWh pada 2021, itu hampir tiga kali lipat konsumsi Ethereum, dan 100 kali lipat dari Litecoin,” begitulah temuan studi tersebut, dikutip dari Fortune, Rabu (10/11).

Lebih lanjut, Bitcoin diperkirakan memancarkan sekitar 57 juta ton CO2 per tahun, dua kali lipat lebih besar dari Ethereum.

Energi Besar untuk Transaksi Relatif Rendah

Terpenting, semua energi dan emisi itu hanya menghasilkan jumlah transaksi yang relatif rendah. Karena jaringan terdistribusinya begitu lambat, pengguna hanya bisa mengunggah sekitar 12.000 pembelian, penjualan, dan transfer per jam pada blockchain.

Artinya, itu setara dengan 115 juta transaksi per tahun. Sebagai perbandingan, Ethereum menangani volume transaksi empat kali lebih tinggi dengan konsumsi listrik lebih sedikit.

Bitcoin mengonsumsi sekitar 707 kWh listrik per transaksi, lebih tinggi 11 kali lipat daripada Ethereum. Lalu, aset kripto itu mengeluarkan emisi lebih dari 480 kilogram CO2.

Penanaman Pohon untuk Atasi Jejak Karbon

Menanam pohon secara massal menjadi salah satu solusi untuk mengatasi dampak tersebut, menurut fisikawan ternama, Freeman Dyson (1923-2020) pada 2007. Saat itu, Bitcoin tak menambah masalah, berbeda dari saat ini.

Dia menulis, “mungkin dalam keadaan darurat global akan terjadi penanaman pohon besar-besaran—dan berbagai tumbuhan yang cepat tumbuh—guna menyerap  CO2 dan menghentikan sementara peningkatan emisi.”