Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
Ilustrasi PLTU. (Pixabay/Benita Welter)

Jakarta, FORTUNE - Asia Research & Engagement (ARE), lembaga think tank asal Singapura, dalam studi terbarunya menunjukan bahwa mendanai “teknologi transisi” berbasis energi fosil seperti co-firing batu bara dan amonia akan berdampak negatif terhadap upaya menurunkan emisi.

Studi bertajuk “Banking on Transition Technologies” tersebut meninjau dua panduan pembiayaan transisi di Asia, yakni “Asia Transition Finance Guidelines” dan “Technology List and Perspective for Transition Finance in Asia”.

Dalam tinjauannya, ARE menemukan kedua panduan tersebut sangat dipengaruhi oleh kebijakan energi Jepang yang mendorong penggunaan carbon capture utilization and storage (CCUS) dan co-firing amonia pada sektor energi.

Menurut ARE, kedua panduan itu memberi definisi pembiayaan transisi (transition finance) yang kurang tepat, dengan mencampur teknologi energi kotor dan hijau menjadi satu. Karena itu, menurut Kurt Mertzger, Direktur Transisi Energi ARE, panduan yang disusun oleh ATF Study Group dan ERIA ini dapat mengganggu proses transisi energi di Asia Tenggara.

“Bank-bank di Asia memiliki peran krusial dalam memberikan pembiayaan yang diperlukan nasabah untuk melakukan transisi ke model bisnis berkelanjutan dan mencapai target nol emisi pada 2050. Perbankan harus dapat menilai jalur teknologi nasabah masing-masing dengan teliti, membangun standar underwriting untuk setiap teknologi, dan mengevaluasi sesuai konteks rencana dekarbonisasi negara nasabah,” ujarnya, Jumat (3/3).

Menurut ARE, negara-negara ASEAN seperti Indonesia, Filipina, dan Vietnam dapat lebih mudah mengakomodasi penambahan kapasitas energi terbarukan dibandingkan Jepang. Asumsi tersebut merujuk pada data dari International Energy Agency (IEA) yang menunjukan bahwa kapasitas energi terbarukan ASEAN akan meningkat hingga 65 persen atau lebih pada periode 2021–2026.

Karena itu, alih-alih membiayai teknologi baru yang berbasis pada energi fosil, bank-bank di Asia Tenggara lebih baik mendukung interkonektivitas dalam sistem ketenagalistrikan dan membiayai grid untuk tambahan kapasitas energi terbarukan.

Sejalan dengan hal tersebut, ARE juga melihat masih banyak perbankan yang belum menggelontorkan investasinya pada teknologi yang direkomendasikan oleh kedua panduan yang disusun ATF Study Group dan ERIA tersebut.

Sejumlah pihak masih mempertanyakan kelayakan komersial, efektivitas, dan daya saing dari “teknologi transisi” dimaksud—besar pengurangan emisi dengan CCUS masih belum terbukti sukses karena sebagian besar proyek tersebut dalam kurun tiga dekade terakhir gagal.

Co-firing dengan amonia tetap polutif

Editorial Team

Tonton lebih seru di