Tyler Brûlé dan Dunia Monocle yang Terkurasi

Jakarta, FORTUNE - Suatu hari pada Februari 2007, truk dari percetakan berhenti di depan kantor kecil di London. Tyler Brûlé menyambutnya dengan tak sabar. Satu per satu kotak diturunkan. Ia membantu membukanya sendiri, lalu memandangi edisi perdana Monocle. Di sampulnya: potret seorang pilot tempur Angkatan Udara Jepang.
“Itu momen yang sangat magis,” katanya kepada Fortune Indonesia (9/4).
Tyler Brûlé lahir di Winnipeg, Manitoba, Kanada. Ia sempat belajar di Ryerson Polytechnic Institute—kini Toronto Metropolitan University—sebelum memutuskan keluar dan terjun ke dunia jurnalisme. Setelah menjadi koresponden di berbagai media besar dunia—termasuk koresponden perang di Afghanistan, ketika ia terkena tembakan dan hampir tewas—Tyler mendirikan Wallpaper Magazine pada 1996, majalah desain dan gaya hidup yang revolusioner.
“Saya sudah membuat Wallpaper Magazine sebelumnya, tapi Monocle adalah majalah yang selalu kuinginkan,” katanya. “Saya merencanakannya selama 10 tahun dan selalu ada di kepala. Selalu menjadi sesuatu yang ingin saya lakukan.”
Pada 2005, Tyler pun merencanakan Monocle dengan serius. Memikirkan tata letak konten, tim yang dibutuhkan, dan berapa banyak uang yang diperlukan. Dua tahun lamanya.
“Saat itulah kami mulai mencari pendanaan,” katanya. “Saya tidak punya £3 juta (sekitar Rp60 miliar, kurs £1= Rp20.000) sendiri saat itu. Kami harus mengumpulkan uang dari investor swasta. Kami memilih untuk tidak mendatangi lembaga, tapi keluarga-keluarga.” Tyler mengidentifikasi sekitar empat atau lima keluarga dari Australia, Jepang, Swiss, dan Swedia—formasi investor yang sangat internasional.

Monocle hadir karena Tyler melihat beberapa fenomena yang terjadi. Kebangkitan maskapai penerbangan—yang membuat orang mudah bepergian hingga keinginan pembaca di berbagai belahan dunia yang menginginkan majalah dengan rasa dan standar yang konsisten di mana pun mereka berada.
Gagasan itu lalu diwujudkan dalam bentuk platform yang saling melengkapi—e-commerce untuk majalah, merchandise, koleksi khusus, hingga toko fisik pertama mereka di London. “Kami percaya e-commerce penting, tetapi ruang fisik juga lebih berarti bagi audiens kami,” katanya.
Fenomena tablet dan ledakan konten digital yang terjadi pada industri media pun menjadi perhatian Tyler. Dia percaya ada ruang untuk konten audio dalam bentuk podcast, yang disikapinya dengan meluncurkan stasiun radio berbasis internet. Semua menjadi bagian dari ekosistem Monocle.
“Orang bisa mengonsumsi kami dalam bentuk majalah, mendengarkan kami di mana pun mereka berada, atau berbelanja dengan kami. Itulah bisnis yang kami bangun selama dua dekade terakhir,” katanya.
Namun, Tyler memastikan bahwa Monocle tidak mengambil konsep media digital pada umumnya yang mengandalkan kecepatan dan jumlah konten yang banyak. Sebaliknya, ia menganut prinsip slow media—konten yang terkurasi dan tidak terburu-buru.
Itulah mengapa, hingga kini, Monocle tetap mempertahankan konsep tatap muka yang dianggapnya sebagai kekuatan jurnalisme mereka. Mereka tidak ragu untuk mengirimkan jurnalisnya ke seluruh dunia untuk melakukan wawancara.
“Kami ingin bertemu langsung, berada di kantor mereka, melihat furnitur mereka, bukan latar belakang palsu. Bahkan mencium bau rokok jika ada,” katanya. “Teknologi baru tidak banyak mengubah kami. Kami masih percaya pada nilai jurnalisme klasik yang baik.”
Asal-Usul Nama Monocle

Monocle sebenarnya bukanlah kata yang dipilih untuk menjadi jenama majalah impiannya. Tyler mengatakan bahwa awalnya memilih nama "The Edit"—bermakna penyuntingan sempurna dari seluruh dunia. Namun, ada yang sudah memiliki nama domain itu di Australia dan tidak berkenan menjualnya.
Tyler berdiskusi dengan direktur seninya untuk memikirkan nama yang terdengar sudah mapan, seolah sudah lama ada. Monocle sendiri pernah hadir sebagai nama sebuah majalah di New York pada tahun 1930-an. “Tapi saya tidak tahu saat itu. Saya ingin nama yang terdengar seperti The Economist atau The Spectator—seolah punya warisan instan,” katanya.
Lucunya, dua bulan setelah peluncuran, seseorang berkata kepadanya: "Monocle adalah anagram dari 'cool men'!”. Anagram adalah kata atau frasa yang dibuat dengan menyusun ulang huruf-huruf dari kata atau frasa lainnya. Tyler mengatakan, “Menarik! Tapi bukan itu alasannya."
Selain sebagai pendiri sekaligus komisaris, Tyler juga menjabat sebagai editorial director di Monocle. Pengawasan terhadap headline, isi, foto, ritme, hingga cover dilakukannya setiap saat. Begitu pula dalam urusan komersial.
“Monocle seperti anak dan darah dalam hidup saya. Definisi dari apa yang saya lakukan, kartu nama, fokus,” katanya. “Ada tanggung jawab besar: 200 orang karyawan tetap. Kami harus memastikan bisnis berjalan baik dan pembaca serta pendengar puas.”
The Chiefs Conference

Meski telah menjadi media yang hampir berusia dua dekade dengan pembaca di berbagai belahan dunia, Tyler mengakui Monocle memiliki tantangan: bagaimana menjadi tetap relevan di dunia media yang penuh dengan banyak pemain. “Terus membangun awareness. Saya masih bertemu orang di Bangkok yang belum pernah dengar Monocle—padahal kami sudah bekerja keras selama 20 tahun. Tantangannya adalah menjaga fokus, tidak terganggu oleh tren baru,” katanya.
Selain mengandalkan media, Monocle pun akhirnya merilis The Chiefs Conference, sebuah konferensi berskala internasional yang mengangkat tema kewirausahaan, bisnis, dan kepemimpinan. Acara ini pertama kali digelar di St. Moritz, Swiss pada 2020, ketika masa pandemi. “Kami mengundang pendiri sepatu lari On, kepala Komite Internasional Palang Merah, dan pemilik hotel. Semua berkumpul di pegunungan Swiss,” katanya. “Kami melihat momentum, dunia ini dalam fase aneh dan kami pikir ada fenomena kurangnya kepemimpinan.”
The Chiefs Conference pun berlangsung di berbagai kota lainnya, seperti Dallas pada 2022, di Hong Kong pada 2024, dan di Jakarta pada 23-24 April 2025.
“Jakarta—Indonesia adalah negara yang dinamis dengan ekonomi konsumen terbesar,” katanya. “Selain memperkenalkan Monocle kepada orang Indonesia, kami juga ingin mengubah persepsi internasional tentang Jakarta (yang sering dianggap hanya kota macet).”
Melalui acara ini, Monocle ingin membangun ruang pertemuan yang inspiratif bagi para audiens untuk mendapatkan ide-ide segar hingga menemukan bisnis baru. “Mulai dari konsep baru yang mungkin ingin mereka waralabakan, bertemu dengan rekan bisnis dari negara lain atau lainnya,” katanya.
Dari majalah, toko, radio, hingga konferensi, Tyler Brûlé membangun Monocle sebagai warisan yang ingin ia tinggalkan. “Saya ingin Monocle menjadi rumah bagi jurnalis hebat—bukan hanya majalah, tapi juga sekolah yang baik,” katanya. “Saya bangga melihat mantan staf kami berkembang, mendirikan bisnis, atau berkarier di tempat lain. Monocle adalah tempat belajar dan berkarya.”