BUSINESS

Business As Usual Bakal Sulit Tingkatkan Pendapatan Indonesia

Ekonomi hijau perlu diterapkan secepat mungkin.

Business As Usual Bakal Sulit Tingkatkan Pendapatan IndonesiaPekerja energi alternatif turbin angin dan panel surya. Shutterstock/AlessandroBiascioli
by
06 January 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Pemerintah mengimbau seluruh pihak untuk mengadopsi ekonomi hijau agar Indonesia tidak masuk perangkap pendapatan kelas menengah (middle income trap) hingga 2045.

Jika busines as usual masih berlaku, “pendapatan per kapita juga tidak akan mencapai target seperti yang diinginkan yakni di level US$12 ribu atau US$13 ribu. Ini sebenarnya level di mana kita bisa lepas dari middle income trap,” kata Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, Medrilzam, dalam diskusi virtual, Kamis (6/1).

Medrilzam memproyeksikan emisi gas rumah kaca (GRK) akan terus meningkat dalam beberapa tahun ke depan jika praktik business as usual diteruskan. Sebab, pada masa mendatang sektor energi akan mendominasi.

Emisi tinggi GRK akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Bila itu terjadi, Medrilzam memprediksi pertumbuhan ekonomi jangka panjang sulit beranjak dari kisaran 4 persen per tahun hingga 2060.

"Dari hasil proyeksi, apabila kita masih business as usual, kelihatannya target visi 2045 (keluar dari middle income trap) yang dicanangkan oleh Pak Presiden (Jokowi) kelihatannya tidak akan tercapai," ujarnya.

Medrilzam mengatakan Indonesia harus mengejar pertumbuhan ekonomi rata-rata 6 persen supaya bisa keluar dari jebakan pendapatan menengah. Pihaknya telah menyiapkan enam strategi tranformasi ekonomi untuk meraihnya.

“Salah satu dari 6 strategi ini adalah ekonomi hijau dan rendah karbon. Kita harus bisa sebaik baiknya mendesain proses ekonomi hijau dan rendah karbon ini,” ungkapnya.

Konsep ekonomi hijau

Secara sederhana, Medrilzam mengatakan ekonomi hijau adalah model pembangunan yang menyinergikan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas lingkungan hidup. Dengan konsep tersebut, peluang kerja baru diharapkan dapat terdorong dan investasi berbasis lingkungan meningkat.

“Oleh karena itu, kami di Bappenas dalam hal perubahan iklim dan sebagainya tidak hanya sekadar indikator penurunan emisi GRK, tapi kami dorong betul penurunan intensitas emisi GRK karena dari sinilah kita bisa melihat pertumbuhan ekonomi dan penurunan emisi dapat kita dorong secara bersama,” ujarnya.

Kerugian akibat perubahan iklim capai Rp544 triliun

Dia meramalkan kerugian ekonomi akibat dampak perubahan iklim mencapai Rp544 triliun pada 2020-2024, disebabkan oleh kapal dan genangan pantai, penurunan ketersediaan air, penurunan produksi beras, dan peningkatan kasus demam berdarah.

Secara terperinci, sektor pesisir dan laut menyumbang rugi Rp408 triliun, sektor air Rp28 triliun, sektor pertanian Rp78 triliun, dan sektor kesehatan Rp31 triliun. "Ini yang harus kita antisipasi. Bagaimana kita mengurangi potensi kerugian akibat perubahan iklim dan bencana," katanya.

Hampir 99 persen bencana yang terjadi pada 2020 adalah akibat hidrometeorologi atau bencana yang disebabkan oleh kondisi cuaca dan iklim, seperti banjir, tanah longsor dan puting beliung, katanya. Secara rata-rata, kerugian ekonomi yang dialami karena bencana hidrometeorologi setiap tahunnya mencapai Rp22,8 triliun.

 

Related Topics