BUSINESS

Kongsi dengan Tiongkok, Pabrik Gasifikasi Batu Bara Dibangun di Aceh

Nilai investasi pembangunan pabrik mencapai US$560 juta.

Kongsi dengan Tiongkok, Pabrik Gasifikasi Batu Bara Dibangun di AcehIlustrasi pabrik petrokimia. Shutterstock/PPJF
by
19 October 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Pabrik gasifikasi batu bara menjadi metanol akan didirikan di Meulaboh, Aceh dengan lokasi yang berada di mulut tambang pemasok. Investasi proyek ini diprakarsai oleh konsorsium yang terdiri dari PT Powerindo Energi (PT PCE) dari Indonesia dan China National Chemical Engineering Corporation (CNCEC) dari Tiongkok.

Dengan nilai investasi sebesar US$560 juta, pabrik ini akan mengolah 1,1 juta ton batubara menjadi 600 ribu ton metanol per tahun. “Kerja sama pembangunan pabrik coal to methanol sangat penting bagi sektor industri. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sangat mengapresiasi perusahaan yang memiliki satu visi untuk menginisiasi proyek gasifikasi batubara dan mendukung rencana invesasi industri pionir ini,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita saat Penandatanganan Perjanjian Kerjasama Pembuatan Feasibility Study Proyek, Senin (18/10).

Industri metanol merupakan salah satu sektor prioritas yang sangat dibutuhkan untuk pengembangan industri di hilirnya. Dengan kebutuhan metanol mencapai 1,2 juta ton pada 2020, pembangunan industri gasifikasi coal to methanol diharapkan dapat berkontribusi pada substitusi impor dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Manfaat bangun hilirisasi industri

Agus mengatakan, kerja sama ini memiliki kontribusi yang penting dalam upaya membangun hilirisasi industri. Penguatan hilirisasi industri setidaknya, kata dia, akan memberi lima manfaat besar bagi perekonomian. Pertama, memperkuat daya saing produk hasil hilirisasi yang dapat meningkatkan ekspor, menjadi bagian dari supply chain global, serta mendorong subtitusi impor.

Berikutnya, meningkatkan penciptaan lapangan kerja dengan berkembangnya industri hilir serta ekspansi dan investasi baru yang akan menyerap lebih banyak tenaga kerja serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ketiga, sebagai bagian dari upaya memperkuat nilai tambah industri di dalam negeri, yang akan memperbesar kontribusinya bagi perekonomian.

Keempat, hilirisasi akan mengakselerasi transfer teknologi di Indonesia. Spillover dari teknologi ini bisa menumbuhkan iklim kewirausahaan dan inovasi-inovasi baru. ”Selanjutnya, hilirisasi dapat meningkatkan subtitusi impor yang akan menekan defisit neraca perdagangan,” kata Agus.

Pada tahun 2020, nilai ekspor bahan kimia dan barang dari bahan kimia mencapai USS11,85 miliar, sedangkan nilai impornya mencapai US$18,25 miliar. Dengan demikian ada defisit sebesar US$6,4 miliar. Agus menambahkan, dengan kondisi neraca perdagangan ini,perlu upaya untuk mempercepat peningkatan investasi di sektor kimia.

Industri kimia, termasuk di dalamnya industri metanol, merupakan salah satu sektor prioritasdalam peta Jalan Making Indonesia 4.0, sehingga Kemenperin secara serius terus berupaya memperkokoh struktur industri ini.

Potensi subtitusi impor dari metanol

Industri metanol menempati posisi penting di industri hilir karena merupakan bahan baku/bahan penolong pada industri tekstil, plastik, resin sintetis, farmasi, insektisida, plywood dan industri lainnya. Metanol juga digunakan sebagai bahan campuran untuk pembuatan biodiesel. Selain itu, metanol bisa diolah lebih lanjut menjadi DME yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar.

Dengan berkembangnya industri hilir pengguna metanol, nilai substitusi impor dari metanol akan semakin besar.Sebagai contoh, pada industri resin sintetik yang merupakan bahan baku/bahan penolong pada industri seperti cat, tekstil, adhesive, maupunthinner. Sebagian kebutuhan resin sintetik di dalam negeri diperoleh dari impor. Impor resin sintetik pada tahun 2020 mencapai 700 ribu ton dengan nilai sebesar US$1,5 miliar.

Kemudian, Pemerintah juga tengah mendorong substitusi penggunaan bahan bakar LPG dengan DME, mengingat produksi LPG setiap tahun semakin menurun. Lebih dari 75 persen kebutuhan LPG dalam negeri dipenuhi dari impor dengan nilai mencapai US$2,5 miliar di tahun 2020. “Dengan gambaran tersebut, keberadaan proyek gasifikasi batubara setidaknya memberikan potensi subtitusi impor minimum sekitar Rp40 Triliun per tahun,” tuturnya.

Related Topics