Freeport Tak Ekspor Konsentrat, US$4 Miliar Pendapatan Negara Hilang

- Penghentian ekspor akan berdampak besar pada perekonomian daerah, khususnya Papua.
- Investigasi kebakaran smelter telah rampung, dan proses perbaikan tetap berjalan sesuai rencana.
Jakarta, FORTUNE – PT Freeport Indonesia (PTFI) menyatakan Indonesia berpotensi kehilangan pendapatan hingga US$4 miliar atau sekitar Rp65 triliun akibat terganggunya operasional smelter katoda di Manyar, Gresik, Jawa Timur.
Smelter tersebut masih dalam tahap perbaikan setelah mengalami kebakaran, yang berdampak langsung pada kapasitas pemrosesan konsentrat tembaga.
Direktur Utama PT Freeport Indonesia, Tony Wenas, mengatakan insiden tersebut mengganggu produksi konsentrat tembaga dari Papua yang dapat dikonsumsi oleh PT Smelting di Gresik, yang hanya mencapai 40 persen. Sementara itu, 1,5 juta ton konsentrat lainnya menjadi idle karena tidak bisa diproses.
"Dampaknya sangat besar. Jika dihitung dengan harga pasar saat ini, total nilai konsentrat yang tidak bisa diproses mencapai lebih dari US$5 miliar. Dari jumlah tersebut, potensi pendapatan negara dalam bentuk pajak, dividen, royalti, dan pajak badan usaha yang hilang bisa mencapai US$4 miliar atau sekitar Rp65 triliun," kata Tony di hadapan Komisi XII DPR, Rabu (19/2).
Penghentian ekspor juga akan berdampak besar pada perekonomian daerah, khususnya Papua. Tony mengatakan Papua Tengah berpotensi kehilangan pendapatan sekitar Rp1,3 triliun, Kabupaten Mimika Rp2,3 triliun, serta kabupaten lain di Papua Tengah Rp2 triliun.
Secara keseluruhan, dampak terhadap pendapatan daerah di Papua mencapai Rp5,6 triliun.
Penghentian ekspor juga memengaruhi dana kemitraan yang dialokasikan Freeport untuk urusan pengembangan masyarakat.
Mengacu pada ketentuan berlaku, alokasi dana kemitraan mencapai 1 persen dari pendapatan. Dengan berkurangnya revenue akibat penghentian ekspor, dana tersebut diperkirakan menyusut hingga hampir Rp1 triliun.
Tony mengatakan sesuai dengan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) milik Freeport, ekspor konsentrat dapat berlangsung dalam kondisi kahar atau force majeure. Namun, hingga saat ini regulasi yang mengatur ekspor dalam situasi ini masih perlu disesuaikan melalui Peraturan Menteri ESDM.
"Kami sudah menyampaikan kondisi ini kepada pemerintah melalui Kementerian ESDM. Penyesuaian regulasi diperlukan agar ekspor bisa kembali dilakukan dan dampak finansial yang besar ini bisa diminimalisir," kata Tony.
Investigasi kebakaran smelter telah rampung
Pada kesempatan sama, Tony memastikan investigasi atas kebakaran di smelter katoda tembaga Gresik telah selesai. Bareskrim Polri menyimpulkan peristiwa tersebut tidak disebabkan oleh kelalaian pekerja.
Smelter Gresik itu terbakar pada 14 Oktober 2024. Lokasi tepatnya adalah fasilitas common gas cleaning plant (CGCP). Akibatnya, terjadi kerusakan signifikan pada west electro-static precipitation (WESP) vessels, ducting, katup, instalasi kelistrikan, serta sistem instrumentasi.
Tony menyatakan dari 3.500 komponen yang terdampak, sekitar 30 persen mengalami kerusakan parah, sementara 70 persen lainnya masih bisa diperbaiki atau diganti.
Ia juga menegaskan proses perbaikan tetap berjalan sesuai rencana.
Smelter dijadwalkan kembali beroperasi pada minggu keempat Juni 2025, dengan uji coba commissioning dimulai pada Maret 2025.
Sejauh ini, estimasi kerugian akibat kebakaran tersebut mencapai sekitar US$130 juta, yang ditanggung oleh asuransi. Sementara itu, proses pembongkaran bagian fasilitas yang terdampak telah selesai dilakukan.
Hingga Desember 2024, biaya pembangunan smelter Freeport di Gresik telah mencapai US$4,2 miliar. Fasilitas ini dirancang untuk mengolah 1,7 juta ton konsentrat tembaga serta menghasilkan 6.000 ton logam mulia per tahun.
Sebelumnya, pemerintah mengizinkan Freeport mengekspor sekitar 840.000 wet metric ton (WMT) konsentrat tembaga pada periode Juli—Desember 2024. Namun, larangan ekspor konsentrat tembaga secara resmi mulai berlaku pada 1 Januari 2025, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No. 6/2024 tentang penyelesaian pembangunan fasilitas pemurnian mineral logam di dalam negeri.
Berdasarkan regulasi tersebut, ekspor hanya diperbolehkan bagi pemegang izin yang tengah menyelesaikan pembangunan smelter dan telah memasuki tahap commissioning. Pihak perusahaan juga harus membuktikan kesiapan, kelengkapan, serta keandalan peralatan dan instalasi pemurnian melalui evaluasi fisik.