Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
ilustrasi pabrik (unsplash.com/Carlos Aranda)

Jakarta, FORTUNE - Ekonomi Thailand terancam menghadapi pergolakkan imbas tutupnya sejumlah pabrik besar dan impor produk murah Tiongkok.  

Dilansir dari Reuters, negara berpenduduk 66 juta jiwa ini menjadi pusat perhatian dan mendapat pujian atas visi industrinya, ketika produsen kendaraan listrik Tiongkok, BYD, membuka pabrik pertamanya di Asia Tenggara di Thailand awal bulan ini.

Namun, capaian itu juga bertolak belakang dengan pengumuman produsen mobil asal Jepang, Suzuki Motor yang beberapa minggu sebelumnya menyatakan rencana penutupan pabrik di Thailand yang memproduksi sebanyak 60.000 mobil per tahun. 

Langkah yang diambil produsen mobil Jepang ini mencerminkan langkah serupa dari sejumlah perusahaan lain di negara dengan ekonomi terbesar kedua di Asia Tenggara, yang menanggung beban impor murah dari Tiongkok. Selain itu, daya saing industri menurun akibat berbagai faktor, termasuk kenaikan harga energi dan angkatan kerja yang menua.

Thailand menghadapi hampir 2.000 penutupan pabrik pada tahun lalu, sehingga berdampak buruk pada sektor manufaktur yang menyumbang hampir seperempat produk domestik bruto (PDB).

Hal ini membebani perekonomian senilai US$500 miliar dan pekerja seperti Chanpen Suetrong. Pria berusia 54 tahun ini menghabiskan hampir dua dekade di V.M.C. Pabrik Kaca Pengaman di provinsi Samut Prakan tengah, memeriksa produk otomotif dan bangunan yang keluar dari jalur produksi.

Chanpen mengatakan, ia menerima pemberitahuan  mendadak mengenai penutupan pabrik pada April lalu yang menyebabkan dia kehilangan pekerjaan.

"Saya tidak punya tabungan. Saya punya utang ratusan ribu baht," katanya. “Saya sudah tua, di mana saya akan bekerja? Siapa yang akan mempekerjakan saya?”

Sementara itu, perusahaan menolak berkomentar mengenai alasan penutupan pabrik. Keterpurukan sektor manufaktur telah membuat Perdana Menteri Srettha Thavisin, yang resmi menjabat tahun lalu, kesulitan memenuhi janjinya untuk meningkatkan rata-rata pertumbuhan PDB tahunan negara itu menjadi 5 persen selama masa jabatannya, naik dari 1,73 persen dalam dekade terakhir.

“Sektor industri telah merosot dan pemanfaatan kapasitas turun di bawah 60 persen,” kata Srettha kepada parlemen pekan lalu. “Jelas bahwa industri perlu beradaptasi.”

Ketua Badan perencanaan Negara Dewan Pembangunan Ekonomi dan Sosial Nasional, Supavud Saicheua, mengatakan model ekonomi Thailand yang selama puluhan tahun didorong oleh manufaktur mulai hancur.

“Tiongkok sekarang mencoba mengekspor ke kiri, kanan, dan tengah. Impor murah itu benar-benar menimbulkan masalah,” kata Supavud kepada Reuters.

Thailand menurutnya harus berubah. Alasannya, bahwa Thailand harus kembali fokus pada produksi produk-produk yang tidak diekspor oleh Tiongkok sambil memperkuat sektor pertaniannya. "Tidak ada jika atau tetapi."

 

Adaptasi atau tutup

Editorial Team

EditorRiyo
EditorEkarina .

Tonton lebih seru di