DBS Ungkap 5 Jurus Bagi Pebisnis Hadapi Dinamika Ekonomi dan Politik

- Bank DBS Indonesia membagikan strategi bagi pelaku bisnis hadapi dinamika ekonomi dan politik di Indonesia.
- Jaga likuiditas & biaya keuangan, diversifikasi ke sektor yang lebih resilien, ikuti arah belanja pemerintah.
- Seimbangkan ketergantungan pada modal asing dan domestik, antisipasi fluktuasi global & harga komoditas.
Jakarta, FORTUNE– Situasi ekonomi dan politik Indonesia tengah memasuki fase penuh dinamika, mulai dari demonstrasi besar di berbagai daerah, reshuffle kabinet oleh pemerintah, hingga penurunan suku bunga BI. Bank DBS Indonesia membagikan sejumlah jurus yang menjadi panduan bagi pelaku bisnis dalam menghadapi dinamika tersebut.
Rangkaian peristiwa politik dan ekonomi memicu gejolak di pasar keuangan, memengaruhi sentimen investor, dan meningkatkan ketidakpastian bagi pelaku usaha di berbagai sektor. Berbagai bisnis menghadapi tantangan mulai dari fluktuasi permintaan, perubahan regulasi, hingga ketidakpastian investasi jangka panjang.
Consumer Banking Director Bank DBS Indonesia Melfrida Gultom, mengatakan di tengah situasi ini, pelaku bisnis dituntut untuk tetap tenang, adaptif, dan sigap mengambil langkah. Meski gejolak pasar tidak bisa dihindari, tapi peluang baru akan selalu muncul bagi mereka yang jeli melihat kesempatan.
“Melihat dinamika bisnis yang semakin kompleks, yang membedakan bisnis sukses bukan sekadar bertahan, tapi kemampuan membaca tren lebih cepat daripada kompetitor. Bank DBS Indonesia hadir untuk membantu pelaku usaha mengidentifikasi peluang baru, misalnya perubahan perilaku konsumen atau sektor yang sedang tumbuh, sehingga strategi bisnis bisa lebih tepat sasaran,” ujarnya dikutip dari keterangan resmi, Jumat (19/9).
Bank DBS mengungkapkan sejumlah tips bagi kalangan bisnis sebagai panduan langkah strategis ke depan.
1. Jaga Likuiditas & Biaya Keuangan
Data DBS Group Research menunjukkan, pada paruh pertama 2025, ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 5 persen secara tahunan (year-on-year/YoY), didorong oleh sektor jasa bernilai tinggi, impor barang modal, investasi, serta konsumsi saat hari raya. Di paruh kedua, pertumbuhan diperkirakan tetap positif berkat belanja pemerintah yang lebih besar, penurunan suku bunga, inflasi yang stabil, dan masuknya investasi asing langsung (FDI).
Secara keseluruhan, ekonomi 2025 diproyeksikan tumbuh 4,9 persen, sementara 2026 diprediksi stabil di kisaran 4,9 hingga 5,0 persen. Meski demikian, risiko perlambatan tetap ada, terutama jika terjadi gejolak global, pelemahan belanja pemerintah, atau koreksi harga komoditas.
Bagi pelaku bisnis, situasi ini menegaskan pentingnya menjaga likuiditas dan efisiensi keuangan. Keputusan baru Bank Indonesia (BI) untuk memangkas kembali suku bunga sebesar 25 basis poin (bsp) menjadi 4,75 persen membuka peluang pembiayaan kembali utang atau memperkuat modal kerja dengan biaya lebih rendah. Namun, perlu diingat bahwa penurunan bunga ini beresiko menekan rupiah. Maka dari itu apabila pelaku bisnis memiliki hutang atau impor dalam dolar, disarankan untuk menyiapkan lindung nilai sedini mungkin.
Untuk menghadapi potensi perlambatan, perusahaan sebaiknya menyiapkan cadangan kas yang memadai dan menghindari ekspansi berlebihan tanpa penyangga keuangan. Dengan langkah ini, bisnis tetap gesit menghadapi ketidakpastian sekaligus siap menangkap peluang dari stimulus pemerintah dan arus investasi asing.
2. Diversifikasi ke Sektor yang Lebih Resilien
Ketidakpastian global, fluktuasi harga komoditas, dan melemahnya daya beli membuat beberapa sektor bisnis lebih rentan dibanding yang lain. Namun, sektor jasa, kebutuhan pokok, dan ekonomi digital terbukti lebih tangguh menghadapi tekanan.
DBS Group Research memprediksi perekonomian digital Indonesia akan mencapai US$95 miliar pada 2025, ditopang oleh e-commerce, fintech, dan adopsi teknologi yang semakin luas. Selain itu, permintaan produk makanan dan kebutuhan sehari-hari juga tetap stabil didorong oleh rencana pemerintah untuk menaikkan anggaran perlindungan sosial sebesar 9 persen pada 2026 serta program makan bergizi gratis senilai Rp335 triliun.
Bagi pemilik bisnis besar, ini menjadi sinyal untuk tidak hanya mengandalkan sektor yang sensitif terhadap siklus ekonomi seperti otomotif atau komoditas, tetapi mulai mengalokasikan investasi ke sektor yang lebih resilien. Diversifikasi portofolio ke kebutuhan pokok, layanan digital, dan infrastruktur teknologi akan membantu menjaga stabilitas pendapatan sekaligus membuka peluang pertumbuhan baru. Dengan strategi ini, perusahaan bisa lebih siap menghadapi volatilitas dan selaras dengan tren ekonomi masa depan.
3. Ikuti Arah Belanja Pemerintah
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, pemerintah mengalokasikan anggaran besar untuk berbagai sektor prioritas. Di antaranya, Rp757,8 triliun untuk pendidikan, Rp402,4 triliun untuk energi, Rp335 triliun untuk program makanan bergizi gratis, serta Rp530 triliun untuk investasi. Anggaran ini menunjukkan arah kebijakan fiskal yang jelas, yakni fokus pada pembangunan manusia, ketahanan energi, peningkatan kesejahteraan, dan penguatan investasi jangka panjang.
Bagi pemilik bisnis, arah belanja ini membuka peluang kolaborasi dan proyek strategis. Perusahaan dapat memposisikan diri sebagai mitra pemerintah dalam penyediaan infrastruktur pendidikan, energi terbarukan, distribusi pangan, maupun layanan pendukung investasi.
Dengan mengikuti fokus belanja pemerintah, bisnis bukan hanya memperkuat potensi pertumbuhan, tetapi juga mendapatkan dukungan dari arus dana negara yang stabil.
4. Seimbangkan Ketergantungan pada Modal Asing dan Domestik
Pasar modal Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh arus modal asing, sehingga pergerakan dana dari investor global bisa membuat pasar bergejolak. Namun, dukungan investor domestik kini semakin penting untuk menjaga stabilitas. Perusahaan dapat memanfaatkan strategi seperti buyback saham atau mendorong partisipasi investor lokal, baik institusi maupun ritel, agar harga saham tetap terjaga meski terjadi capital outflow dari asing.
Tahun ini, IHSG sempat ditopang oleh saham-saham yang kurang likuid, menandakan pasar masih rentan terhadap sentimen jangka pendek. Ke depan, rotasi ke saham-saham berkualitas dengan fundamental kuat diperkirakan akan lebih berkelanjutan.
Bagi pemilik bisnis besar, menjaga keseimbangan antara ketergantungan pada modal asing dan dukungan investor lokal akan memperkuat daya tahan perusahaan sekaligus meningkatkan kepercayaan pasar.
5. Antisipasi Fluktuasi Global & Harga Komoditas
Harga energi dan komoditas terus mengalami pergerakan tajam yang berdampak langsung pada biaya operasional bisnis. Harga minyak Brent, misalnya, sudah turun ke USD 67,48 per barel atau hampir 12 persen sejak Juni 2025, sementara komoditas lain seperti CPO, batu bara, dan nikel juga sangat berfluktuasi. Proyeksi menunjukkan harga minyak Brent akan stabil di kisaran US$65-70 per barel pada 2026, sedangkan harga CPO diasumsikan berada di Rp13.050/kg pada 2025.
Di sisi lain, arah kebijakan moneter global semakin kompleks. The Fed baru saja memangkas suku bunga sebesar 25 bsp pada September 2025, menandai dimulainya kembali siklus pelonggaran moneter.
Namun, DBS Group research menilai inflasi masih berisiko naik karena sejumlah faktor: penyerapan tarif, ketatnya pasar tenaga kerja akibat pembatasan imigrasi, dampak stimulus dari pemotongan pajak, lonjakan permintaan energi seiring belanja untuk AI, neraca rumah tangga dan korporasi yang kuat, serta pasar ekuitas yang booming. Tekanan inilah yang membuat suku bunga jangka panjang tetap tinggi.
"Kondisi ini menjadi sinyal bagi pemilik bisnis untuk lebih berhati-hati dalam mengatur harga produk dan jalur pasokan barang. Salah satu cara yang bisa dilakukan bisa dengan mengunci harga lewat kontrak jangka panjang agar biaya bahan baku tidak melonjak secara tiba-tiba. Dengan langkah antisipasi ini, perusahaan bisa tetap menjaga keuntungan dan lebih siap menghadapi perubahan ekonomi global yang tidak pasti," tulis DBS dalam laporannya.