FINANCE

Ancaman Krisis Ekonomi Global 2023 Masih Ada, Investor Harus Waspada

Pahami 3 profil risiko sebelum berinvestasi.

Ancaman Krisis Ekonomi Global 2023 Masih Ada, Investor Harus Waspadailustrasi krisis moneter (unsplash.com/Markus Spiske)
30 November 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Ancaman resesi, tingginya inflasi, hingga pengetatan likuiditas semakin memojokkan ekonomi banyak negara menuju pelemahan bahkan berpotensi menciptakan krisis. 

Bahkan, pada Laporan Prospek Ekonomi Global dari Bank Dunia mencatat pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan terjun bebas dari 5,7 persen pada 2021 menjadi 2,9 persen pada 2022. 

Oleh karena itu, Kepala Ekonom PT Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW) Budi Hikmat mengimbau kepada seluruh pelaku bisnis dan ekonomi mewaspadai kondisi pelemahan tersebut yang berpotensi menjadi krisis di 2023. 

"Kami mengkhawatirkan saat ini sebetulnya, dunia mengarah pada suatu krisis baru. Krisisnya nanti apakah sebaran, kemudian kedalaman atau keparahan, dan durasi, kemungkinan besar ini lebih luas, lebih dalam dan lebih lama," kata Budi melalui webinar Bahana TCW di Jakarta, Rabu (30/11). 

Bahkan, probabilitas terjadinya resesi di AS sudah mendekati 60 persen, demikian juga di Eropa. Pemicu utama dari kondisi ekonomi AS dan Eropa adalah tingginya harga energi dan bahan makanan, serta kebijakan moneter yang diambil akan semakin ketat. 

Pertumbuhan ekonomi global kehilangan momentum

Ilustrasi resesi ekonomi global.
Ilustrasi resesi ekonomi global. (Pixabay/Elchinator)

Menurut Budi, pertumbuhan ekonomi global telah kehilangan momentum akibat pandemi Covid-19, yang kemudian diperparah perang Rusia-Ukraina serta perang dagang AS – China yang meningkatkan risiko utang negara miskin dan potensi krisis pangan di sejumlah kawasan. 

Pengaruh berbagai cost-push factors pasca pandemi yang pelik terutama terkait upah, gangguan rantai pasok, lonjakan biaya energi dan pangan juga mempersulit upaya bank sentral mengendalikan inflasi. Kebijakan pengetatan lanjutan bahkan berisiko memicu stagflasi global. 

"Capital market sudah mengantisipasi ya. Jadi seperti bursa di Amerika itu sempat anjlok 20 persen lebih. Demikian juga di pasar obligasi sudah naik bahkan melewati inflasi, namun imbal hasil jangka panjang tidak sepesat yang jangka pendek," kata dia.  

Namun demikian, Budi optimis perekonomian Indonesia dapat bertahan di tengah terpaan badai resesi global dengan ditunjang fundamental kuat. 

Menurutnya, perekonomian domestik secara umum masih menunjukkan ketahanan dengan ditopang peningkatan permintaan domestik, investasi yang terjaga, dan berlanjutnya kinerja positif ekspor. 

Selain itu, peningkatan penerimaan pajak yang penting untuk meredam dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Di sisi lain, program re-industrialisasi juga lebih menjanjikan dalam penciptaan kesempatan kerja terampil untuk menaikan pendapatan dan kesejateraan. 

Pahami 3 profil risiko sebelum berinvestasi

Ilustrasi Analis, investor, trader menggunakan analitik aplikasi ponsel untuk menganalisis pasar saham. Shutterstock/insta_photos

Related Topics