FINANCE

Bukan Konflik Iran-Israel, Bos BCA Ungkap Penyebab Rupiah Anjlok

Banyak dividen mengalir ke luar negeri.

Bukan Konflik Iran-Israel, Bos BCA Ungkap Penyebab Rupiah AnjlokSejumlah warga mengantre untuk menukarkan uang di salah satu gerai penukaran uang asing di Jakarta, Rabu (17/4). NTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin
23 April 2024
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Nilai Tukar Rupiah tercatat mengalami pelemahan dalam beberapa hari belakangan. Pada hari ini saja, nilai tukar Rupiah dibuka pada level Rp16.246/US$. Rupiah melemah 9,5 poin atau 0,06 persen dari perdagangan sebelumnya. Padahal, pada 2 Januari 2024 rupiah masih di level Rp15.390/US$.

Sejumlah faktor seperti Konflik Iran-Israel menjadi penyebab lemahnya Rupiah, namun pandangan lain diungkap oleh Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja. Ia menilai, faktor kebiasaan pelaku bisnis yang membutuhkan dolar saat awal tahun menjadi salah satu penyebab Dolar semakin menguat. 

"Demand dolar meningkat pada kuartal I karena persiapan lebaran masa liburan. Banyak masyarakat terbang ke luar negeri, membeli tiket dan berbelanja, mereka butuh dolar," kata Jahja dalam konferensi pers Kinerja BCA di Jakarta, Senin sore (22/4). 

Banyak dividen mengalir ke luar negeri

cara trasnfer uang dari luar negeri ke indonesia
ilustrasi transfer uang dari luar negeri ke indonesia (unsplash.com/Roman Synkevych)

Selain itu, banyaknya pengusaha yang berekspansi untum membeli bahan baku luar negeri di awal tahun juga mendorong penggunaan dolar sehingga menggerus nilai tukar rupiah. 

Tak hanya itu, lanjut Jahja, musim pembagian dividen payout pada kuartal I 2024 juga menjadi salah satu biang kerok pelemahan rupiah. Sebab, tak sedikit investor asing yang mengalirkan dividen miliknya ke luar negeri. 

“Adanya pengurangan investasi di saham dan obligasi oleh asing dan adanya dumping dari asing semua ini butuh dolar, mau tidak mau exchange rate kita melampaui Rp 16.000,” tambah Jahja. 

Kebutuhan dolar masih tinggi, Jahja sebut BI belum saatnya intervensi

Ilustrasi Bank Indonesia/ Shutterstock Harismoyo

Related Topics