Kosmetik Vegan Menggeliat, Jenama Lokal Berebut Pasar

Jakarta, FORTUNE - Tren kosmetik vegan di Indonesia naik pesat seiring meningkatnya kesadaran konsumen pascapandemi terhadap kesehatan dan lingkungan. Beauty content creator, Fahira Septiani mengatakan, kesadaran ini seiring kepedulian kepada bumi. Kosmetik vegan menggunakan bahan baku nabati atau alami, proses produksinya lebih ramah lingkungan dengan jejak karbon lebih rendah, dan sering kali menggunakan kemasan yang didaur ulang atau dapat terurai.
“Dimulai dari menggunakan produk kecantikan yang bukan hanya aman untuk diri sendiri, tapi juga aman untuk makhluk hidup sekitar dan ramah lingkungan," ujarnya, kepada Fortune Indonesia.
KOL Sarra Tobing yang juga membuat konten mengenai kosmetik vegan menambahkan, “Ketika kita kembali ke bumi untuk merawat kulit artinya kita berterima kasih dengan apa yang diberikan Tuhan.”
Secara global, pasar kosmetik vegan diproyeksikan menembus US$20,8 miliar pada 2025. Dorongan utamanya datang dari konsumen muda yang mencari produk bebas bahan hewani dan cruelty-free. Indonesia mengikuti tren itu, studi Inventure-Alvara 2021 mencatat 69,5 persen konsumen bersedia membayar lebih untuk produk natural atau organik.
Pasar domestik pun berkembang. Jumlah perusahaan kosmetik naik menjadi 913 pada 2022, membuka ruang bagi brand vegan lokal. ESQA, yang berdiri pada 2016, melihat celah ketika belum ada pemain yang fokus pada ingredients. “Waktu kita awal launching brand di market belum ada yang peduli tentang ingredients,” kata Co-founder Cindy Angelina.
ESQA kini tersertifikasi PETA dan ekspansi ke Malaysia, Vietnam, dan Singapura lewat Sephora, menargetkan pertumbuhan pendapatan 200 persen dengan sokongan modal Unilever Indonesia dan East Ventures.
TAVI dari PT Paragon Technology and Innovation turut masuk pasar dengan produk bersertifikasi PETA. “Banyak yang masih susah mendapatkan produk vegan, bahkan jastip di luar negeri dengan harga mahal,” ujar Andriani Oktadianti. Mereka mengembangkan bahan seperti retinol vegan dan plant-based squalane.
Jenama global juga turut terjun dalam persaingan. SKINFOOD, yang kembali ke Indonesia, menyesuaikan formulasi dengan iklim lokal. Managing Director SKINFOOD Indonesia, Iswandy Lim, mengatakan produknya menggunakan bahan alami seperti tumbuhan, sayuran, serta buah untuk setiap produk perawatan kulit dan kosmetik.
“Misalnya kalau kita pakai sayuran atau buah-buahan itu kita ambil dari yang negara asalnya terbaik. Kemudian untuk pengganti scrub pakai ekstrak dari butiran tebu atau black sugar. Madu dari royal honey, propolisnya dari black bee di Prancis, dan sebagainya,” ujarnya.
Tak hanya soal bahan, menurutnya proses pembuatan juga menjadi perhatian penting dalam produksi SKINFOOD, yaitu dengan teknik khusus. Misalnya dalam produksi sheet mask yang berbeda dengan jenama lainnya.
Meski harga produk vegan cenderung lebih tinggi, minat konsumen tidak surut. “Ya, memang benar harganya lebih mahal, tapi kita mengutamakan ingredients yang sehat dan premium quality,” kata Cindy. Selain itu, ada strategi diferensiasi di pasar ekspor. Misalnya menyesuaikan warna lipstik di Vietnam, menjadi kunci daya saing.
Prospeknya diperkirakan terus meningkat. President of World Vegan Organization (WVO) dan Vegan Society of Indonesia (VSI), Dr. Susianto Tseng, menilai potensi pasar sangat besar.
“Akan besar sekali, karena konsumennya jangan dipikir hanya kelompok atau komunitas vegan tapi siapa pun bisa pakai,” ujarnya. Mulai Juli 2023, sertifikasi vegan dapat dilakukan di dalam negeri melalui kerja sama dengan LPPOM MUI, mempermudah produsen lokal untuk masuk pasar secara resmi.
Dengan konsumen semakin cerdas, regulasi lebih mudah, dan persaingan antarbrand yang menguat, kosmetik vegan menjadi salah satu segmen kecantikan yang paling dinamis di Indonesia.
















