Ramadan 2026 Ubah Bisnis Barang Mewah, Bagaimana Merek Berstrategi?

Jakarta, FORTUNE — Ketika kantor-kantor perusahaan barang mewah di Eropa dan Amerika Serikat mulai melonggarkan aktivitas menjelang tutup tahun, dinamika yang berbeda justru terjadi di Timur Tengah. Ramadan 2026 diperkirakan akan dimulai lebih awal, sekitar 18 atau 19 Februari, bergantung pada hasil rukyatul hilal, dengan Idulfitri jatuh pada pekan ketiga Maret.
Percepatan kalender Ramadan ini datang hanya beberapa pekan setelah musim liburan akhir tahun dan nyaris berbarengan dengan Hari Valentine pada 14 Februari serta Tahun Baru Imlek pada 17 Februari. Kondisi tersebut memunculkan tantangan besar bagi industri ritel. Fahed Ghanim, CEO Majid Al Futtaim Lifestyle, menyebut situasi ini sebagai “kompresi nyata pada kalender ritel”.
Majid Al Futtaim Lifestyle mengelola jaringan ritel untuk sejumlah merek global, mulai dari label Italia Eleventy, merek busana pria Corneliani, hingga jenama activewear Lululemon, serta That Concept Store. Menurut Ghanim, percepatan Ramadan membuat siklus bisnis menjadi semakin padat.
“Kami bergerak langsung dari puncak intensitas kuartal IV menuju salah satu momen budaya dan komersial terbesar di kawasan, dengan ruang napas yang sangat minim,” ujarnya, melansir Vogue.
Bagi merek-merek barang mewah, situasi ini menuntut perencanaan Ramadan dilakukan jauh lebih awal dan dikunci sejak awal tahun.
Di lain sisi, meningkatnya peran kawasan Teluk dalam peta industri barang mewah global, Ramadan tak lagi bisa diposisikan sekadar sebagai agenda regional. Miral Youssef, Presiden Kering Timur Tengah dan Afrika, menegaskan bahwa bulan suci ini tetap memiliki bobot strategis yang besar. “Ramadan masih merepresentasikan porsi bisnis yang signifikan di Timur Tengah dan Afrika, serta terus memiliki signifikansi strategis yang kuat, terutama bila didekati dengan niat dan relevansi budaya.”
Secara historis, lonjakan belanja terjadi empat hingga enam pekan sebelum Ramadan dimulai. Ghanim menilai periode ini kini setara dengan momen-momen puncak ritel global. “Periode pra-Ramadan kini menjadi sama pentingnya secara komersial dengan momen puncak ritel seperti Black Friday dan Singles’ Day,” katanya.
Salah satu indikator awal pergeseran kalender ritel ini terlihat dari penyelenggaraan “Ataya”, pameran yang digelar oleh organisasi kemanusiaan Emirates Red Crescent di bawah naungan Yang Mulia Sheikha Shamsa bint Hamdan bin Mohammed Al Nahyan. Meski tidak berfokus pada segmen barang mewah, Ataya menampilkan berbagai merek independen dan artisan dari kawasan maupun mancanegara. Penyelenggaraannya pada 12–17 Januari menjadi sinyal kuat bahwa agenda ritel dan merek kian bergeser ke awal tahun.
“Pemenangnya adalah mereka yang merencanakan dari jauh hari, bukan yang menyesuaikan di menit terakhir,” kata Ghanim.
Sejumlah merek, seperti Boucheron akan melakukan pra-peluncuran global untuk sejumlah perhiasan pilihan, dengan Timur Tengah sebagai lokasi debut eksklusif. Langkah ini menegaskan semakin besarnya pengaruh kawasan tersebut dalam kalender barang mewah. Balenciaga dan Saint Laurent terus mengeksplorasi desain khas mereka melalui pilihan warna yang dikurasi dan aktivasi di dalam toko, sementara McQueen menyesuaikan koleksi busana malam agar selaras dengan ritme sosial Ramadan. Sementara itu, Gucci memberikan ruang bagi kelompok kecil untuk mengeksplorasi tema Ramadan dalam suasana yang memadukan refleksi budaya dan identitas kreatif merek.
Tantangan eksplorasi ritel
Tantangan lain muncul dari posisi Ramadan 2026 yang jatuh di antara berakhirnya distribusi koleksi gugur/dingin dan datangnya koleksi semi/panas. Situasi ini menciptakan kompleksitas tersendiri dalam strategi merchandising peritel.
“Pelanggan mencari kesopanan, keanggunan, bahan yang lebih ringan, serta busana acara yang elevated, bukan sisa produk musim dingin atau potongan awal musim panas yang terasa tidak sejalan dengan musim,” ujar Ghanim.
Busana acara pun menjadi sorotan, seiring tradisi sahur yang kerap dimanfaatkan sebagai ajang berkumpul secara sosial. Di dalamnya, terjadi pergeseran kebutuhan yang dipengaruhi faktor musiman, khususnya bagi perempuan Arab yang mencari busana transisional.
Di That Concept Store, tim merchandising melihat peluang di antara koleksi gugur dan semi, dengan fokus pada item layering bersiluet sopan dan berkesan refined, sesuai dengan ritme sosial Ramadan.
Untuk itu, tim bekerja erat dengan desainer regional dan internasional, termasuk Dima Ayad dan Christopher Esber, dalam merancang kapsul Ramadan yang memiliki arah dan tujuan yang jelas.
Yasmin Al Mulla, seniman multidisiplin asal Uni Emirat Arab yang kerap berkolaborasi dalam proyek Ramadan bersama Dior, Cartier, Boucheron, dan Christofle, menilai pentingnya pendekatan musiman yang kuat. Ia merekomendasikan agar merek “bertumpu pada musiman yang kuat. Fokus bergeser ke potongan timeless dan transisional yang relevan di kedua siklus.”
Di tengah menjamurnya acara Ramadan, outfit menjadi penting dan konsumen dinilai semakin kritis dan selektif. Mereka juga kian tidak mentoleransi merek yang menyamakan kehadiran dengan relevansi. Pandangan ini diamini Sofiane Si Merabet, seniman sekaligus pendiri platform The Confused Arab dan agensi pemasaran Karta, yang pernah terlibat dalam berbagai acara berbasis budaya bersama Cartier dan Tiffany.
“Ada kelelahan pada kalender sosial. Acaranya, peluncurannya, semua aktivasi,” katanya.
Meski demikian, Si Merabet menilai momentum pada acara sahur tetap memiliki tempat bagi merek mewah, asalkan dirancang dengan kecerdasan budaya dan kehati-hatian. “Ramadan bukan satu hari, melainkan sebulan, bukan hanya dalam durasi, tapi juga makna,” ujarnya.
Ada fase-fase berbeda, energi yang berbeda, dan merek perlu memahami ritme itu alih-alih memperlakukannya sebagai satu momen kampanye.
Ia juga mengingatkan bahwa banyak merek luput memahami dinamika waktu dalam Ramadan. “Merek sering lupa bahwa 10 hari terakhir Ramadan adalah yang paling penting secara religius, sementara hari-hari awal sangat berorientasi keluarga. Itu menyisakan jendela waktu yang spesifik. Dan di dalamnya, pendekatan pintu terbuka itu penting, bukan satu malam yang melelahkan, melainkan dua atau tiga hari agar orang bisa datang saat waktu mereka memungkinkan," katanya.
Pesannya jelas: merek perlu berinvestasi pada pengalaman dan momen yang berumur panjang, bukan sekadar satu malam. Ramadan, sejatinya menjadi bagian yang menyatu dalam kalender merek mewah di Timur Tengah dan berbagai belahan dunia bukan sekadar agenda sesaat.
“Ramadan adalah ujian keaslian. Jika Anda tak pernah berinteraksi dengan budaya lokal, tak pernah berkolaborasi dengan desainer atau seniman setempat, lalu tiba-tiba hanya bersuara saat Ramadan, orang akan langsung melihatnya dan tahu, itu hanya sesaat," katanya.
Dengan kehadiran Ramadan yang kini jatuh di awal tahun, bulan suci ini berpotensi menjadi titik awal strategis bagi rangkaian aktivasi yang membangun hubungan yang lebih nyata dengan konsumen. Beragam strategi jelan Ramadan ini juga dapat diadopsi sebagai batu loncatan jenama di Indonesia jelang Ramadan.
















