MARKET

Sri Mulyani Sebut Ongkos Obligasi Hijau Masih Mahal

Pasar belum beri respons signifikan terhadap SBN hijau.

Sri Mulyani Sebut Ongkos Obligasi Hijau Masih MahalMenteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, saat berbicara dalam Agenda G20, High Level Seminar on Strengthening Global health Architecture, Kamis (17/2). (Tangkapan layar YouTube Kemenkeu)
14 July 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa ongkos untuk menerbitkan obligasi hijau lebih mahal. Pasalnya, butuh biaya lebih untuk memastikan proyek yang dibiayai oleh surat utang itu memenuhi aspek keberlanjutan atau ramah lingkungan. 

Kami memahami bahwa penerbitan obligasi semacam ini akan membutuhkan kepatuhan yang lebih terhadap pelaporan serta menjaga standar proyek hijau yang mendasari penerbitan obligasi ini. Jadi pada dasarnya biayanya jauh lebih tinggi," ujarnya dalam Opening Remarks: Joint G20/OECD Corporate Governance Forum, Kamis (14/7).

Bendahara negara menuturkan, sejak 2018 pemerintah telah menerbitkan obligasi hijau senilai US$4,8 miliar, termasuk dalam bentuk SBN berbasis syariah atau Sukuk. Hal lain yang coba diperkenalkan Indonesia ke pasar keuangan adalah obligasi pembangunan berkelanjutan. Tahun lalu, Indonesia merilis obligasi internasional senilai 500 juta euro dan menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang menawarkan instrumen tersebut dengan tingkat bunga terendah yang pernah ada.

Ketika Anda berbicara tentang suku bunga terendah sekarang menjadi sangat langka. Karena tren kenaikan suku bunga," imbuhnya.

Sayangnya, respons pasar tak berbeda jauh dengan obligasi biasa yang diterbitkan pemerintah. "Pasar belum secara efisien dan adil menempatkan instrumen semacam ini, karena pasar tidak membedakan antara obligasi hijau dan non-hijau,"jelasnya

Kampanye ESG

Dalam kesempatan tersebut, Sri Mulyani juga mengungkapkan masih banyaknya 'PR'' pemerintah untuk mempromosikan kaidah Environmental, social, and corporate governance (ESG) di Indonesia. Ini terutama karena fokus pemerintah hari ini lebih kepada bagaimana Indonesia dapat segera pulih dari pandemi.

"Juga bagaimana kita harus menghadapi peningkatan risiko yang berasal dari ketegangan politik global, dan bagai mana respons tersebut akan menciptakan kebijakan moneter yang sangat ketat," tuturnya.

Meski demikan, ia juga meyakinkan bahwa Indonesia akan terus membuat kemajuan dengan terus merancang proses pemulihan ekonomi tanpa perlu mengorbankan komitmen dalam mendorong perekonomian yang berkelanjutan. Namun ia juga menegaskan bahwa tugas tersebut tak hanya bisa dijalankan pemerintah melainkan memerlukan keterlibatan semua pihak.

"Kita harus terus berdiskusi serta berkolaborasi dan bekerja sama untuk terus memperkuat kemitraan dan kerjasama berbagai pemangku kepentingan yang dapat mengadopsi dan mempraktikkan ESG," tandasnya.

Related Topics