Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Imbas Tarif Trump, Perusahaan Klarna Hingga StubHub Tunda Rencana IPO

Ilustrasi IPO. (Dok. Flickr/Kevin Smith)
Intinya sih...
  • Banyak perusahaan di belahan dunia lain menunda rencana IPO dan akuisisi sebagai tanggapan langsung terhadap tarif impor baru Donald Trump.
  • Klarna, Chime, dan perusahaan ekuitas swasta di London menunda rencana IPO, sementara StubHub menunda roadshow kepada investor.
  • Tingkat ketidakpastian yang tinggi di pasar akibat kebijakan tarif baru AS dan eskalasi perang dagang memicu penurunan aktivitas merger dan akuisisi.

Jakarta, FORTUNE - Sejumlah perusahaan di berbagai negara dilaporkan menunda rencana penawaran umum perdana (IPO) dan akuisisi sebagai respons langsung terhadap kebijakan tarif impor baru yang diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.

Reuters memberitakan tarif tambahan AS yang berkisar antara 10 hingga 50 persen, yang diumumkan pada Rabu (2/4), telah memicu keresahan internasional akan terjadinya resesi dan eskalasi perang dagang. Kekhawatiran ini semakin diperkuat dengan pengumuman Tiongkok pada hari Jumat pekan lalu mengenai tarif baru terhadap barang-barang AS serta pemberlakuan kontrol ekspor.

Menurut Reuters, perusahaan fintech asal Swedia, Klarna, dan perusahaan fintech yang berbasis di San Francisco, Chime, memutuskan penundaan rencana IPO mereka. Tidak hanya itu, sebuah perusahaan ekuitas swasta di London juga menangguhkan rencana pembelian perusahaan sektor teknologi berkapitalisasi menengah di Eropa tidak lama setelah berita mengenai tarif tersebut mencuat.

Dampak kebijakan ini juga dirasakan oleh perusahaan penjualan tiket, StubHub, yang menunda rencana roadshow kepada para investor menjelang IPO setidaknya selama satu minggu ke depan. Sementara itu, perusahaan jasa keuangan asal Israel, eToro, juga menunda presentasi investor untuk IPO di Wall Street dari Senin hingga setelah tanggal 20 April, dengan alasan kondisi pasar dan volatilitas yang tinggi.

Jika tren penundaan ini terus berlanjut, kemampuan perusahaan untuk mengumpulkan dana dan melakukan investasi dikhawatirkan akan terhambat, yang pada gilirannya dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

"Akan sangat sulit untuk menyelesaikan kesepakatan apa pun karena biaya utang diperkirakan akan naik dan akan lebih sulit untuk memastikan valuasi perusahaan," demikian seorang bankir senior dikutip Reuters, Senin (7/4).

Bahkan sebelum pengumuman tarif terbaru dari Trump, data dari Dealogic yang dikumpulkan oleh Reuters menunjukkan bahwa tarif baru AS dan kekhawatiran seputar isu perdagangan telah berkontribusi pada penurunan sebesar 13 persen dalam aktivitas merger dan akuisisi di AS pada kuartal pertama tahun ini.

Hampir seluruh bursa saham global menunjukkan tren pelemahan. Pada perdagangan Jumat (4/4), indeks Nasdaq turun tajam hingga 5,82 persen ke level 15.587,79. Senada dengan itu, indeks Dow Jones melemah 5,50 persen menuju posisi 38.314,86, sementara indeks S&P500 merosot lebih dalam, yakni 5,97 persen ke level 5.074,08.

Indeks-indeks utama AS mencatatkan kerugian terburuk sejak 2020 pada Kamis dan terus mengalami penurunan pada Jumat setelah pengumuman dari Tiongkok.

Antony Walsh, seorang mitra M&A pada firma hukum Eversheds Sutherland, menyatakan bukan tarif itu sendiri yang menjadi masalah utama, melainkan tingkat ketidakpastian yang menyertainya. Ketidakpastian inilah yang paling berdampak pada kepercayaan diri para pemimpin perusahaan.

Bank investasi JP Morgan bahkan menaikkan probabilitas terjadinya resesi pada akhir tahun ini menjadi 60 persen, meningkat dari perkiraan sebelumnya yang sebesar 40 persen.

Senada dengan pandangan tersebut, Tom Godwin, seorang mitra pada firma hukum global Freshfields, menyatakan saat ini terdapat terlalu banyak ketidakpastian di pasar. Ditambah lagi, pesan yang beragam dari pemerintahan Trump semakin menciptakan kekacauan di pasar.

Lebih lanjut, Philipp Suess, Kepala Pasar Ekuitas dan Modal untuk Jerman dan Austria di Goldman Sachs, berpendapat bahwa IPO besar kemungkinan belum akan terwujud dalam waktu dekat akibat volatilitas pasar yang tinggi.

"Sudah jelas setelah Rabu malam lalu bahwa jalur IPO menjadi lebih menantang," katanya pada Reuters dalam sebuah wawancara.

Share
Topics
Editorial Team
Bonardo Maulana
EditorBonardo Maulana
Follow Us