Imbas Trump Tambahkan Tarif untuk Cina, Harga Minyak Dunia Tertekan

- Trump tambahkan tarif dagang ke Cina, meningkatkan ketegangan perdagangan antara AS dan Cina.
- Harga minyak dunia turun akibat perang tarif, pertumbuhan ekonomi AS yang melambat, dan pertimbangan OPEC untuk produksi minyak.
- Kondisi di Timur Tengah juga mempengaruhi harga minyak, dengan Israel berunding memperpanjang gencatan senjata di Gaza.
Jakarta, FORTUNE - Harga komoditas minyak dunia masih tertekan menyusul penambahan tarif dagang ke Cina oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.
Research and Development ICDX, Girta Yoga, mengatakan Trump mengumumkan tarif sebesar 25 persen untuk produk dari Meksiko dan Kanada akan mulai berlaku pada 4 Maret. Itu bersamaan dengan tambahan tarif 10 persen untuk impor Cina akibat masih maraknya peredaran fentanil di AS.
Dengan dirilisnya kebijakan ini, maka total tarif yang dikenakan terhadap Cina meningkat menjadi 20 persen. Langkah Trump tersebut berpotensi memperburuk ketegangan perdagangan antara AS dan Cina.
Usai terbitnya kebijakan tersebut, minyak terus bergerak bearish. Berdasarkan Trading Economics, Jumat (28/2), pukul 18:00 WIB, minyak crude oil WTI berada pada level US$69,3 per barel.
Artinya terjadi penurunan 1,47 persen hanya dalam 24 jam hingga saat itu. Di sisi lain, minyak Brent juga mengalami penurunan 1,27 persen hanya dalam sehari ke level US$72,6 per barel.
Selain faktor perang tarif, pertumbuhan ekonomi AS yang melambat pada kuartal IV-2024, yang diperkirakan bakal terus berlanjut pada awal kuartal ini, semakin menambah tekanan pada harga minyak dunia.
Girta mengatakan Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan kenaikan klaim tunjangan pengangguran yang melonjak lebih dari perkiraan pada minggu sebelumnya. Kenaikan itu adalah yang terbesar dalam lima bulan.
"Data tersebut mengindikasikan pasar tenaga kerja AS yang terus melambat," katanya, Jumat, (28/2).
Di tengah gejolak global ekonomi tersebut, OPEC alias Organisasi Pengekspor Minyak Bumi, beserta sekutunya tengah mempertimbangkan produksi minyak pada April mendatang.
Girta mengatakan sejumlah anggota OPEC kesulitan memprediksi kondisi pasokan global di tengah sanksi baru AS terhadap Venezuela, Iran, dan Rusia. Sementara itu, Rusia dan Uni Emirat Arab (UEA) menjadi dua negara yang mengisyaratkan dukungan untuk melanjutkan peningkatan produksi.
Lalu, Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Saar, mengumumkan Israel telah mengirim negosiator ke Kairo untuk berunding, dengan tujuan memperpanjang fase pertama gencatan senjata yang akan berakhir dalam dua hari. Tujuannya adalah membebaskan lebih banyak sandera sambil menunda kesepakatan akhir tentang masa depan Gaza.
Namun, komentar Saar tersebut berpotensi menginterupsi kelanjutan kesepakatan damai Gaza. Sebab, sebelumnya kelompok Hamas mengungkapkan telah siap memulai perundingan fase kedua, serta menegaskan satu-satunya cara untuk membebaskan sandera yang tersisa di Gaza adalah melalui komitmen terhadap gencatan senjata.
Menimbang segala sentimen tersebut, Girta mengatakan harga minyak secara teknis masih berpotensi menemui posisi resistance terdekat pada US$72 per barel. Namun, apabila ada faktor negatif lain, besar kemungkinan harga akan turun ke support terdekat pada US$68 per barel.