Kinerja Emiten Minerba Dibayangi Usulan Kenaikan Tarif Royalti

- Pemerintah mengusulkan kenaikan tarif royalti bagi komoditas mineral seperti nikel, tembaga, dan emas serta penyesuaian tarif royalti dan PNBP untuk batu bara.
- Tarif royalti untuk produsen batu bara dengan kontrak IUP dan PKP2B akan naik 1 persen, namun hanya pada kondisi tertentu untuk batu bara jenis tertentu.
- Kenaikan tarif berpotensi menekan kinerja emiten produsen batu bara yang beroperasi dengan IUP dan PKP2B serta menyesuaikan tarif PPh bagi perusahaan dengan kontrak IUPK.
Jakarta, FORTUNE - Pemerintah melalui Kementerian ESDM mengusulkan kenaikan tarif royalti bagi sejumlah komoditas mineral, seperti nikel, tembaga, hingga emas, serta penyesuaian tarif royalti dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) untuk komoditas batu bara.
Kebijakan itu nantinya akan disandarkan pada revisi PP No.26/2022 tentang jenis tarif dan tarif PNBP di Kementerian ESDM, dan PP No.15/2022 tentang perlakuan perpajakan dan/atau PNBP pada usaha pertambangan batu bara.
Dalam usulan itu, tarif royalti untuk produsen batu bara dengan kontrak izin usaha pertambangan (IUP) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) akan naik 1 persen.
Namun, kenaikan itu hanya terjadi pada kondisi tertentu untuk batu bara jenis tertentu. Yakni, batu bara dengan kalori kurang dari 4.200 dan antara 4.200–5.200 ketika Harga Batubara Acuan (HBA) mencapai US$90/ton atau lebih.
Sementara itu, Penerimaan Hasil Tambang (PHT) untuk kalori dan HBA yang sama turun 1 persen.
Peningkatan tarif berpotensi menekan emiten produsen batu bara yang beroperasi dengan IUP, seperti PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PKP2B seperti PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG).
Hingga perdagangan hari ini (11/3), saham PTBA telah melemah 20 poin atau 0,80 persen ke 2.490, dan saham ITMG telah merosot 675 poin atau 2,82 persen ke 23.175.
Pemerintah pun berencana menyesuaikan tarif Pajak Penghasilan Badan (PPh) bagi perusahaan dengan kontrak izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dari 22 persen menjadi sesuai dengan peraturan pada bidang pajak penghasilan.
Menurut analis dari platfform investasi saham Stockbit, Hendriko Gani, wacana penyesuaian tarif tersebut dapat memberikan dampak positif.
HBA per Maret 2025 yang mencapai US$128/ton akan berpotensi meningkatkan kinerja emiten terkait. Ambil misal produsen batu bara dengan kontrak IUPK, seperti PT Bumi Resources Tbk (BUMI), PT Indika Energy Tbk (INDY), dan PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI).
Kenaikan tarif royalti juga berpotensi menekan kinerja emiten produsen mineral, seperti PT Vale Indonesia Tbk (INCO), PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL), PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS), dan PT Amman Mineral Internasional Tbk(AMMN).
“Berdasarkan rencana penyesuaian, komoditas yang akan mengalami kenaikan royalti paling tinggi adalah bijih tembaga dan feronikel. Dengan harga tembaga sebesar US$9.362/ton pada Maret 2025, royalti bijih tembaga berpotensi naik 3 kali lipat dari 5 persen menjadi 15 persen, sementara royalti feronikel naik 150 persen dari 2 persen menjadi 5 persen,” demikian Gani dalam risetnya, dikutip Selasa (11/3).
Pada perdagangan saham Selasa (11/3), hampir seluruh saham emiten terdampak melemah, kecuali ANTM yang naik 10 poin atau 0,67 persen menuju level 1.500 pada pukul 11.21.