Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Pasar Saham Rontok, Investor Khawatir Tarif Trump Picu Resesi

Donald Trump (instagram.com/realdonaldtrump)

Jakarta, FORTUNE - Pasar saham mengalami aksi jual besar-besaran pada 11 Maret 2025 akibat ketidakpastian kebijakan tarif Presiden Donald Trump yang memicu kekhawatiran resesi. Melansir Fortune.com, Indeks S&P 500 anjlok 2,7 persen dan ditutup sedikit di atas angka 5.600, level terendah sejak pertengahan September. Nasdaq Composite turun 4 persen, mencatat hari perdagangan terburuknya sejak September 2022. Saham teknologi, yang selama dua tahun terakhir menjadi pendorong utama pasar, turut mengalami tekanan besar.

Trump sebelumnya menggunakan pasar saham sebagai tolok ukur kinerja pemerintahannya, serta sering kali membanggakan kenaikan harga saham sebagai tanda kepercayaan investor. Namun, kini ia mengakui bahwa dampak ekonomi jangka pendek mungkin diperlukan untuk membentuk kembali perekonomian AS. Dalam wawancara dengan Fox News, ia mengatakan bahwa ekonomi sedang dalam "periode transisi, karena apa yang kami lakukan sangat besar."

Sam Stovall, Kepala Strategi Investasi CFRA Research, menyebut penurunan ini sebagai "koreksi yang disengaja," mengacu pada bagaimana pasar bereaksi terhadap kebijakan Gedung Putih.

"Bull market tidak mati karena usia tua," katanya. "Mereka mati karena ketakutan, dan yang paling mereka takuti adalah resesi," kata Stovall.

Sinyal negatif dan kekhawatiran

Ketidakpastian kebijakan perdagangan memicu kekhawatiran investor mengenai prospek laba perusahaan. Pada awalnya, Wall Street menganggap ancaman tarif Trump sebagai gertakan, tetapi kini pasar mulai melihat dampak nyata dari kebijakan tersebut.

Jay Hatfield, CEO Infrastructure Capital Advisors, menilai pasar cenderung bereaksi berlebihan terhadap kondisi saat ini. "Kami memang berpikir ekonomi sedang melemah dan The Fed perlu memangkas suku bunga," ujarnya.

"Tetapi kami tidak berpikir bahwa kita akan mengalami resesi. Namun, pasar mulai berpikir sebaliknya," katanya, menambahkan.

Sementara itu, perkiraan GDPNow dari Federal Reserve Atlanta menunjukkan kontraksi sebesar -2,4 persen untuk kuartal ini, mencerminkan beberapa pekan data ekonomi yang mengecewakan. Indeks S&P 500 telah turun hampir 9 persen dari puncaknya pada pertengahan Februari, sementara Nasdaq Composite turun 13 persen dalam periode yang sama.

Aksi jual pada Senin dipimpin oleh saham teknologi, dengan Tesla anjlok 15 persen dalam satu hari, mencatat rekor terburuk sejak 2020. Nvidia, raksasa chip yang menjadi pusat perdagangan AI, turun 5 persen.

"Yang cukup menggembirakan adalah baru-baru ini kami melihat investor beralih ke sektor-sektor defensif seperti barang konsumsi pokok, perawatan kesehatan, dan utilitas," ujar Stovall. "Ini mengindikasikan bahwa investor lebih memilih berotasi daripada sepenuhnya mundur dari pasar."

Investor juga beralih ke obligasi pemerintah "bebas risiko," mendorong imbal hasil lebih rendah. Hatfield memperkirakan bahwa level 5.400 atau 5.500 pada S&P 500 bisa menjadi titik terendah aksi jual. "Tapi kita saat ini berada di bawah rata-rata pergerakan 200 hari," ujarnya, "dan itu berisiko."

Share
Topics
Editorial Team
pingit aria mutiara fajrin
Editorpingit aria mutiara fajrin
Follow Us