Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
For
You

Dianggap Masih Amburadul, Industri Sawit Harus Direvolusi

ilustrasi kelapa sawit (commons.m.wikimedia.org/Wagino 20100516)
ilustrasi kelapa sawit (commons.m.wikimedia.org/Wagino 20100516)
Intinya sih...
  • Industri kelapa sawit Indonesia masih amburadul dan tertinggal dari negara pesaing.
  • Sistem transaksi CPO di pasar komoditas Indonesia lemah.
  • Ketua Umum DMSI Sahat Sinaga menyerukan perlunya revolusi pada industri sawit Indonesia.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Banten, FORTUNE - Industri kelapa sawit Indonesia dinilai masih jauh dari kata tertata. Berbagai persoalan klasik seperti ketidaksesuaian izin lahan, lemahnya sistem transaksi di pasar komoditas, hingga kesenjangan kesejahteraan antara perusahaan besar dan petani kecil masih menghantui sektor andalan ekspor nasional tersebut. Kondisi ini membuat upaya menuju industri sawit yang berkelanjutan dan berkeadilan terasa semakin mendesak.

Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga, menilai sudah saatnya Indonesia merevolusi sektor ini. Menurutnya, tanpa langkah pembenahan menyeluruh, industri sawit nasional akan terus tertinggal dari negara pesaing seperti Malaysia yang lebih disiplin dalam tata kelola dan efisiensi produksinya.

“Selama ini, industri sawit Indonesia masih amburadul. Contohnya lahan tidak jelas—dapat izin 10 hektare, tapi yang diambil 12 hektare,” kata Sahat dalam acara Workshop Jurnalis Promosi UKM Sawit di Kota Tangerang Selatan, Kamis (23/10).

Menurut Sahat, persoalan ketidakteraturan itu bukan hanya terjadi di lapangan, tetapi juga dalam mekanisme perdagangan minyak sawit mentah (CPO) di pasar komoditas. Ia menyoroti masih lemahnya pengawasan terhadap transaksi CPO di Indonesia yang berbeda jauh dari sistem di negara tetangga seperti Malaysia.

“Contoh lain, transaksi maksimum margin 3 persen. Kalau di kita bisa lebih—ibaratnya nipu-nipu. Beda dengan Malaysia, kalau marginnya 3 persen, tetap 3 persen,” ujarnya.

Selain tata kelola dan sistem perdagangan, Sahat menyoroti kesenjangan kesejahteraan di antara pelaku industri besar dan petani sawit. Ia menilai petani masih menjadi kelompok yang paling terpinggirkan, padahal mereka adalah tulang punggung industri sawit nasional.

“Perusahaan besar bisa punya gedung-gedung tinggi, aset besar. Petani? Mungkin jadi yang terzalimi. Petani saja mau replanting (peremajaan tanaman) susah,” katanya.

Seruan revolusi industri sawit

Melihat kondisi yang dinilainya masih semrawut itu, Sahat menyerukan perlunya revolusi industri sawit Indonesia. Menurutnya, perombakan total perlu dilakukan agar industri ini bisa lebih efisien, berkelanjutan, dan berkeadilan bagi semua pihak—terutama petani.

“Kita harus berpikir apa lagi yang bisa kita berikan kepada petani supaya mereka kaya,” ujarnya.

Ada dua langkah utama yang disarankan Sahat. Pertama, revolusi teknologi, terutama dalam proses pengolahan. Ia menilai Indonesia sudah saatnya meninggalkan teknologi wet process (pengolahan basah) dan beralih ke dry process (pengolahan kering).

Langkah kedua adalah peningkatan nilai tambah bagi petani sawit. Menurut Sahat, petani tidak seharusnya hanya bergantung pada penjualan Tandan Buah Segar (TBS), tetapi juga perlu diberi akses untuk mengembangkan produk turunan sawit.

“Petani itu jangan hanya mendapatkan income dari jual TBS saja,” katanya.

 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Bonardo Maulana
EditorBonardo Maulana
Follow Us

Latest in News

See More

Kemajuan Industri Sawit Sangat Bergantung pada Sejumlah Hal Ini

24 Okt 2025, 10:16 WIBNews