NEWS

Bahan Bakar Co-firing PLTU Lebih Mahal dari Batu Bara

ESDM usulkan bahan bakar co-firing pakai serbuk kayu.

Bahan Bakar Co-firing PLTU Lebih Mahal dari Batu BaraIlustrasi : PLTU Tembilahan
30 June 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB) Meika Syahbana Rusli mengatakan, hasil olahan serbuk kayu (woodchips) atau pelet untuk proyek co-firing PLTU biomassa harus lebih mahal dari harga DMO batu bara (US$70 per ton). Tujuannya, agar memberikan keuntungan bisnis bagi para pengusaha di industri tersebut.

Jika tidak, usaha di bidang pengolahan biomassa tak akan diminta investor dan program co-firing PLTU yang dijalankan pemerintah akan terkendala oleh seretnya bahan baku.

"Artinya ada prospek keberlanjutannya. Catatannya, memang bisa dijual dengan harga cukup tinggi," ujarnya dalam seminar bioenergi bertajuk "Peningkatan Bauran EBT 23 persen melalui Keberlanjutan Pasokan Bahan Bakar Cofiring dan Pembangkit Bioenergi", Kamis (30/6).

Meika menuturkan tingginya harga hasil olahan tersebut juga berkaitan erat dengan kelangsungan usaha tanaman biomassa seperti kaliandra dan gamal yang akan diolah menjadi serbuk kayu. Sebab, harga kelayakannya—jika menggunakan patokan harga kayu di pasaran—bisa mencapai Rp300 ribu per ton. Di bawah harga tersebut, petani kemungkinan akan memilih untuk menanam tanaman yang sudah ada seperti cabai, ubi kayu hingga jagung.

"Jika, harga kayu itu bisa cukup menarik, kami ambil patokan di sini harga pasar kayu Rp300 ribu per ton, maka sebenarnya net present value (NPV) tanaman biomassa ini sebenarnya cukup kompetitif terhadap tanaman eksisting," jelasnya.

Harga kelayakan tanaman biomassa tersebut juga diperoleh dari hasil survei yang ia lakukan di Jawa Tengah, yakni Rembang dan Jepara, serta Tuban, Jawa Timur. Di Rembang dan Jepara, oportunity cost dari pengembangan kayu kaliandra dan gamal dan mempunyai keunggulan komparatif karena memberikan nilai tambah bagi petani.

Sementara di Tuban, budidaya tanaman kayu kaliandra dan gamal di lahan kering wilayah tersebut tak punya keunggulan komparatif karena secara finansial, usaha tani tanaman yang sudah ada lebih menguntungkan.

"Survei kami di daerah Rembang dan Jepara masing-masing terhadap produk jagung, cabai, senggon dan ubi kayu ini cukup menarik artinya cukup kompetitif secara kelayakan ekonominya. Ada juga data untuk wilayah ekonomi lainnya, seperti Cilacap, Pacitan. Yang harus dipastikan adalah harga kayu yang bisa dibeli," jelas Meika.

Dalam hitung-hitungan yang ia lakukan, jika harga input dari petani sudah mencapai Rp300 ribu per ton, sementara harga outputnya hanya Rp771.500 per ton (setara harga patokan DMO batu bara), maka NPV industri pengolahan biomassa serbuk kayu akan menjadi minus. Sebab, setelah tanaman biomassa dibeli dari petani, ada biaya pengolahan yang membuat Harga Pokok Produksi (HPP) tersebut mencapai Rp914 ribu per ton.

Karena itu, agar investasinya lebih menarik, maka harga output sesuai DMO batu bara tersebut harus ditambah dengan margin minimal 1 persen, sehingga harganya menjadi minimal Rp924 ribu per ton.

"Harga beli sesuai harga batu bara, misalnya, asumsinya kami hitung US$70 dolar atau dengan rasio persentase tertentu kami dapat datanya adalah Rp771 ribu memang ini jadi tidak layak," tuturnya.

"Catatannya memang bisa dijual dengan harga cukup tinggi Rp924 ribu dan mengakomodir harga input biomassa Rp300 ribu per ton. Ini lah yang menarik dan jadi jaminan bagi petani untuk bisa membudidayakan tanaman biomassa tersebut," tandasnya.

Upayakan pemakaian serbuk kayu

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menuturkan, serbuk kayu adalah pilihan yang lebih murah untuk co-firing PLTU dibandingkan pelet.

Karena itu ia berharap ke depan co-firing PLTU bisa menggunakan woodchips ketimbang pelet. "Kalau saya sih dalam sering saya sampaikan kan ini bisa dibakar. Sepanjang bisa dibakar tidak perlu dipercantik," jelasnya.

Karena itu ia berharap para pakar di IPB juga dapat memastikan kedepannya opsi pengguna serbuk kayu untuk co-firing PLTU PLN.

"Mungkin ini yang nanti para ahli  bisa memastikan secara keteknikan karena saya dengar masih ada isu kalau kita pakai masih dalam bentuk fiber, di dalam ukuran kurang dari 5 ml masih ada masalah di sisi boiler. Kalau pakai pelet tambahannya bisa Rp200 per kg. Dan kalau ini kan biar lah pelet kita pakai keluar kita pakai woodchips," pungkasnya. 

Related Topics