NEWS

Bappenas Sebut Investasi PLTS di Indonesia 80% Lebih Mahal

Tingginya biaya investasi itu disebabkan berbagai risiko.

Bappenas Sebut Investasi PLTS di Indonesia 80% Lebih MahalANTARA FOTO/Nova Wahyudi/wsj
13 October 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Rencana pemerintah mendorong penggunaan PLTS dalam mencapai target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025 diprediksi bakal terkendala masalah pembiayaan. Pasalnya, nilai investasi pembangkit tenaga surya di Indonesia relatif lebih mahal dibandingkan rata-rata global.

Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi dan Informatika (KTI) Bappenas, Rachmat Mardiana, mengatakan tingginya biaya investasi itu disebabkan oleh berbagai faktor risiko, mulai dari hambatan perizinan hingga kurangnya akses kepada jaminan dan subsidi.

"Harga PLTS di Indonesia sendiri apabila dibandingkan dengan beberapa negara lain ada biaya yang lebih tinggi sekitar 80 persen," ujarnya dalam diskusi bertajuk 'Potensi Instrumen Pengurangan Resiko Pada Pengembangan Energi Terbarukan', Selasa (12/10).

Sebagai catatan, dalam RUPTL 2021-2030 yang baru disahkan pekan lalu, pemerintah menargetkan penambahan PLTS sebesar 4,68 GW atau 12 persen dari total kapasitas tambahan yang direncanakan. Dari sisi persentase, besar kapasitas tambahan PLTS untuk mendorong bauran EBT hanya berada di bawah PLTA  yang mencapai 10,39 GW (26 persen).

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, dalam keterangan resminya beberapa waktu lalu, mengungkapkan biaya investasi PLTS secara global turun 80 persen dalam satu dekade terakhir.

Arifin tak menyebut berapa nilai investasi PLTS di Indonesia. Namun, parameter murahnya biaya pembangunan pembangkit tersebut bisa dilihat dari harga jual listriknya, bil khusus pada proyek yang tidak memerlukan pembebasan lahan. 

Ia mencontohkan PLTS terapung Cirata berkapasitas 145 MW yang harga jual listriknya ke PLN hanya 5,8 sen dolar per kWh. Lalu, berdasarkan market sounding oleh PLN, penawaran harga listrik PLTS terapung di beberapa lokasi antara 3,68-3,88 sen dolar per kWh. 

Jika dibandingkan dengan rata-rata harga tarif listrik EBT dunia, nilai tersebut memang lebih kecil. IRENA Report: Renewable Power Generation Costs in 2020 menunjukan bahwa rerata harga listrik dari PLTS di seluruh dunia hanya sebesar 5,7 sen dolar per kWh.  

Risiko Tinggi dan Masalah Pembiayaan

Kepala Studi Lingkungan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, Alin Halimatussaidah, menuturkan mahalnya investasi PLTS di Indonesia memang tak bisa dilepaskan dari sulitnya proses pembebasan lahan serta harganya yang kelewat mahal.

Memang hal ini tak hanya terjadi pada proyek PLTS. Hampir seluruh pembangkit EBT mengalami kendala dalam tahap pengembangan dan konstruksi dan menyebabkan biaya investasinya menjadi mahal. 

Selain masalah pembebasan lahan, kendala tersebut bisa berasal dari akses menuju lokasi sumber EBT hingga kurangnya dukungan kebijakan.

"Selain dalam fase pengembangan, pengusaha juga menghadapi pricing policy yang di Indonesia itu lumayan suka berubah ubah. Sementara sisi financing, kebanyakan lembaga pembiayaan Indonesia itu tidak terlalu aware (mengenai) renewable energy," jelasnya.

Namun, khusus untuk PLTS, masalah cukup besar tak terbatas pada fase pengembangan dan konstruksi, melainkan juga saat beroperasi. Beberapa di antaranya adalah ihwal tingginya biaya penyimpanan energi, tidak stabilnya produksi karena bergantung pada cuaca, hingga limbah beracun yang dihasilkan. "Jadi hal-hal seperti ini yang menghadang berbagai project renewable energy," tandasnya.

Related Topics