NEWS

Omnibus Law Perpajakan Resmi Disahkan, Ada Tax Amnesty-Kenaikan PPN

DPR sahkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Omnibus Law Perpajakan Resmi Disahkan, Ada Tax Amnesty-Kenaikan PPNRapat Paripurna DPR RI Ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022 di Kompleks Parlemen, Jakarta (7/10). ANTARA FOTO/Aprilio Akbar
07 October 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI akhirnya mengesahkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dalam rapat paripurna, Kamis (7/10). Pimpinan sidang, Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar, mengetok palu penetapan omnibus law perpajakan sebelum waktu makan siang.

Sidang diawali dengan penyampaian laporan terkait pembahasan UU HPP oleh Wakil Ketua Komisi XI Dolfie. Anggota fraksi PDIP itu mengatakan kesepakatan atas rancangan UU tersebut dicapai pada Rabu (29/9) setelah semua fraksi menyampaikan pandangannya. 

"Delapan fraksi menyatakan menerima dan menyetujui, sedangkan 1 fraksi, yaitu fraksi Partai Keadilan Sejahtera, menyatakan menolak,” katanya.

Dalam rapat paripurna, anggota Fraksi PKS menyampaikan penolakan terhadap rancangan UU tersebut. "Pimpinan. Fraksi PKS tetap pada sikap di tingkat pertama. Terima kasih," ucap wakil dari fraksi PKS tersebut.

Perincian persentase

Secara umum, UU tersebut berisi IX Bab dan 11 pasal. Ketentuan baru tersebut memuat lima kelompok materi utama berkaitan dengan ketentuan umum dan tata cara perpajakan, pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), cukai, serta pajak karbon. 

Masing-masing kelompok berisi pengaturan yang menjadi inti dari perubahan Undang-Undang No.6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). 

Adapun bagian penting dan mengundang perdebatan kencang selama pembahasan UU ini tax amnesty dan kenaikan tarif PPN.

Program pengampunan pajak dalam UU ini bernama pengungkapan harta sukarela wajib pajak. Program ini berlaku mulai 1 Januari hingga 30 Juni 2022. Dalam RUU tersebut, harta yang dimaksud adalah aset yang diperoleh wajib pajak sejak 1 Januari 1985 sampai 31 Desember 2015. 

Nantinya, harta bersih tersebut dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenai pajak penghasilan (PPh) yang bersifat final. PPh final itu akan dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagai berikut:

 -6 persen untuk harta di dalam negeri dan diinvestasikan ke sektor pengelolaan sumber daya alam, energi baru terbarukan dan obligasi negara

-8 persen jika harta tersebut tidak diinvestasikan di tiga sektor tersebut

-6 persen untuk harta di luar negeri yang dialihkan dan diinvestasikan ke sektor tersebut

-8 persen untuk harta di luar negeri yang dialihkan tetapi tidak diinvestasikan di tiga sektor tersebut

-11 persen untuk harta bersih yang berada di luar negeri dan tak dialihkan ke Indonesia.

Untuk pengungkapan harta secara sukarela yang diperoleh sejak 1 Januari 2016 hingga 31 Desember 2020, tarif PPh finalnya adalah:

-12 persen untuk harta di dalam negeri dan diinvestasikan di tiga sektor yang telah disebutkan

-14 persen jika tidak diinvestasikan di sektor-sektor tersebut

-12 persen untuk harta di luar negeri yang dialihkan dan diinvestasikan ke tiga sektor tersebut

-14 persen untuk harta di luar negeri yang dialihkan tetapi tidak diinvestasikan ke tiga sektor tersebut

Dalam Pasal 7 RUU HPP, wajib pajak yang mengalihkan harta bersihnya ke Indonesia dilakukan maksimal pada 30 September 2022. Sementara komitmen wajib untuk menginvestasikan hartanya pada sektor SDA, EBT, dan SBN disampaikan maksimal 30 September 2023.

"Investasi harta bersih wajib dilakukan paling singkat lima tahun sejak diinvestasikan," begitu bunyi aturan.

Lebih lanjut, wajib pajak yang ingin mengikuti program pengampunan pajak ini dapat mengajukan surat pemberitahuan pengungkapan harta kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). 

Wajib pajak juga harus melampirkan sejumlah dokumen antara lain seperti bukti pembayaran PPh final, daftar perincian harta dan informasi kepemilikan harta yang dilaporkan, daftar utang, pernyataan pengalihan harta bersih ke Indonesia, pernyataan akan menginvestasikan harta bersih untuk sektor SDA, EBT, serta obligasi negara.

Selanjutnya, Direktorat Jenderal Pajak akan menerbitkan surat keterangan atas surat pemberitahuan tersebut. Jika terdapat ketidaksesuaian antara harta bersih yang diungkapkan dan keadaan sebenarnya, maka DJP dapat merevisi atau membatalkan surat keterangan tersebut.

Sementara itu, wajib pajak yang telah mendapatkan surat keterangan dari DJP tidak akan dikenai sanksi administratif. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengungkapan harta bersih akan diatur dalam peraturan menteri keuangan (PMK).

Kemudian terkait dengan tarif PPN, pemerintah akan menerapkan skema multitarif mulai dari nol persen hingga 15 persen. Tarif nol persen berlaku khusus untuk ekspor barang kena pajak berwujud, ekspor kena pajak tidak berwujud, dan ekspor jasa kena pajak. Di luar itu, terdapat ketentuan multitarif PPN sebesar 5 persen sampai 15 persen.

Selanjutnya, terdapat ketentuan tarif PPN 11 persen atas barang dan jasa yang berlaku mulai 1 April 2022. Untuk tarif PPN sebesar 12 persen, penerapannya berlaku paling lambat 12 Januari 2025.

Related Topics