NEWS

Pemda Boleh Diskon Hingga Bebaskan Pajak Diskotik dll, Ini Syaratnya

UU HKPD beri ruang bagi Pemda untuk tak pungut pajak.

Pemda Boleh Diskon Hingga Bebaskan Pajak Diskotik dll, Ini SyaratnyaBar & Lounge KAMA. (Fortuneidn/Bayu)
17 January 2024
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan, Lydia Christyana Kurniawati, mengatakan pemerintah daerah dapat memberikan insentif pajak jasa hiburan yang tidak termasuk dalam objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT).

Objek pajak jasa hiburan dimaksud meliputi diskotik, karaoke, bar, kelab malam, dan mandi uap atau spa—yang tarifnya ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen—dan belakangan ramai diperbincangkan warganet. 

Bahkan, kepala daerah dapat tidak memungut pajak atas objek usaha dimaksud jika potensinya dianggap kurang memadai.

Kebijakan-kebijakan tersebut dapat diambil kepala daerah lantaran diatur dalam Undang-Undang No.1/2023 tentang Hubungan Antara Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) dan turunannya.

Terkait pemberian insentif, ketentuannya tertuang dalam Pasal 99 Peraturan Pemerintah No.35/2023 tentang Ketentuan Umum Pajak dan Retribusi Daerah—salah satu turunan UU HKPD.

Dalam beleid tersebut, dijelaskan bahwa yang menyatakan pemda bisa memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya sebagai upaya mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi.

"Insentif fiskalnya berupa apa? Pengurangan. Jadi kalau saat ini memang belum mampu dengan tarif 40 persen silahkan berdasarkan asesmen daerahnya, melakukan pengurangan pokok pajaknya, memberikan keringanan, memberikan pembebasan ataupun penghapusan dari pokok pajak," ujarnya dalam media briefing di Kementerian Keuangan, Selasa (16/1).

Ada empat faktor yang harus dipertimbangkan untuk bisa memberikan pajak hiburan tertentu di bawah 40 persen kepada pelaku usaha. Pertama, kemampuan membayar wajib pajak/wajib retribusi.

"Jika memang pelaku usaha dalam kategori wajib pajak yang belum mampu secara usaha ditetapkan dengan tarif 40 persen, maka kepala daerah berapa bisa memberikan insentif," ujarnya.

Namun, pemberian insentif tersebut harus mempertimbangkan beberapa faktor seperti kemampuan bayar wajib pajak; kondisi tertentu objek pajak, seperti terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan; untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro; untuk mendukung kebijakan dalam mencapai program prioritas daerah; dan/atau untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.

"Misalnya, karena sekarang sedang masa pemulihan, daerah tersebut habis terkena bencana, misalnya. Diberikanlah (insentif) secara massal. Tahun ini tidak diberikan tarif minimal 40 persen. Silahkan pertimbangan ini disebut. Apakah semuanya atau bar saja, atau karaoke saja, atau mandi uap saja, itu boleh. Diatur dalam kepala daerah," jelasnya.

Namun, pemberian insentif tersebut tidak bisa diberikan secara permanen, melainkan harus ditinjau pada tahun berikutnya dengan mempertimbangkan kemampuan dan kepentingan daerah masing-masing.

"Misalnya tahun ini jangan 40 persen. 10 persen saja [tarifnya]. Tapi kita lihat ya, perkembangannya satu tahun. Jika daerah ini sudah pulih, daerah ini perlu mendapatkan dukungan dari seluruh pelaku usaha di situ untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya. Jadi, kembali kepada kepentingan daerah," katanya.

Diperbolehkan untuk tidak memungut pajak

Sementara itu, terkait kebijakan tidak memungut pajak jika potensinya dinilai kurang memadai, ketentuannya tertuang dalam Pasal 6 ayat (2) UU HKPD. Potensi kurang memadai dimaksud adalah potensi penerimaan dari suatu jenis pajak terlalu kecil sehingga biaya operasional pemungutannya lebih besar dibandingkan dengan pemungutannya.

"Siapa yang bisa menilai bahwa itu tidak potensial? Kepala daerahnya. Jadi Boleh tidak memungut pajak," jelasnya.

Namun, pemerintah daerah harus hati-hati untuk menetapkan kebijakan tidak memungut pajak tersebut, kata Lydia. Sebab, nantinya kebijakan tersebut juga harus dipertanggungjawabkan saat audit terhadap keuangan daerah dilakukan.

"Pasti akan ditanya sama auditor. Justifikasinya, kenapa kok ini enggak dipungut. Tidak potensialnya hitungannya seperti apa? Dipersilahkan saja. Karena ruang ini kan diberikan Undang-Undang," ujarnya.

Related Topics