NEWS

Pemerintah Utang Rp109 Triliun ke PLN dan Pertamina

Tagihan Kompensasi PLN dan Pertamina melonjak tahun lalu.

Pemerintah Utang Rp109 Triliun ke PLN dan PertaminaMenteri Keuangan Sri Mulyani (kelima kiri) dan para pejabat Eselon I berfoto bersama disela konferensi pers realisasi pelaksanaan APBN 2021 di kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (3/1/). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

by Hendra Friana

29 March 2022

Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah masih memiliki tunggakan kepada PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) sebesar Rp109 triliun. Utang itu merupakan kompensasi yang belum dibayar pemerintah sebagai konsekuensi tidak dinaikkannya harga BBM dan listrik dua tahun terakhir.

"Secara total dalam hal ini pemerintah memiliki kewajiban Rp109 triliun (ke Pertamina dan PLN)," ujarnya dalam konferensi pers APBN KiTA, Senin (28/3).

Sri Mulyani memaparkan, kompensasi 2020 yang belum dibayarkan pemerintah mencapai Rp15,9 triliun. Sebabnya, dari total tagihan 2020 sebesar Rp63,8 triliun yang harusnya dilunasi tahun lalu, pemerintah baru membayar Rp47,9 triliun dengan perincian Rp30 triliun untuk Pertamina dan Rp17,9 triliun untuk PLN. 

Kemudian, tagihan kompensasi 2021 yang sebesar Rp68,5 triliun untuk Pertamina dan Rp24,6 triliun untuk PLN belum terbayarkan sama sekali tahun ini.

"2021 berdasarkan audit BPKP, kami sudah menerima bahwa kompensasi akan makin melonjak. Untuk biaya kompensasi BBM akan melonjak Rp68,5 triliun. Ini tagihan Pertamina kepada kami. Dan untuk listrik Rp24,6 triliun, jadi masih ada Rp93,1 triliun," jelasnya.

Konsekuensi kebijakan

Menurut Sri Mulyani, utang pemerintah ke Pertamina dan PLN mencapai Rp109 triliun merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat. Dampaknya, pemerintah harus menambal gap harga produksi dengan harga jual eceran (HJE) BBM kepada Pertamina serta selisih harga pokok produksi (HPP) setrum dengan tarif listrik yang dijual PLN ke pelanggan.

"Ini yang disebut shock absorber. APBN mengambil seluruh shock yang berasal dari minyak dan listrik. Masyarakat tidak mengalami dampak namun APBN yang harus mengambil konsekuensinya," ujarnya.

Sementara itu , Kementerian Keuangan mencatat realisasi belanja subsidi energi pemerintah dalam dua bulan pertama tahun ini mencapai Rp21,65 triliun. 

Meski demikian, hampir separuh dari realisasi belanja tersebut merupakan pembayaran tagihan tahun sebelumnya yang mencapai Rp10,17 triliun. Sementara realisasi subsidi reguler Rp11,48 triliun.

Di samping karena kenaikan harga komoditas, kenaikan pada realisasi subsidi energi awal tahun ini terjadi seiring meningkatnya aktivitas masyarakat yang mendorong konsumsi energi. Realisasi subsidi energi dalam dua bulan pertama ini mencakup 1,39 juta kilo liter BBM, 632 juta Kg LPG 3 Kg dan subsidi kepada 38,2 juta pelanggan listrik.