NEWS

Rizal Ramli Wafat, Indonesia Kehilangan Ekonom Cemerlang

Telah sebulan menjalani perawatan kesehatan.

Rizal Ramli Wafat, Indonesia Kehilangan Ekonom CemerlangEks Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli. (Doc: Instagram.com/rizalramli.official)
03 January 2024
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Ekonom senior sekaligus mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Rizal Ramli, meninggal dunia pada Selasa malam (2/1), sekitar pukul 19.30 WIB.

Berita duka tersebut disampaikan keluarga melalui sejumlah akun resmi media sosialnya seperti Twitter (X) dan Instagram.

Kabar tersebut juga dibenarkan kerabat Rizal Ramli, yakni aktivis Adhi Massardi. Bersama beberapa koleganya, beberapa dekade lalu, Rizal dan Adhi sempat mendirikan Komite Bangkit Indonesia yang menembakkan kritik pada berbagai kebijakan Presiden Soeharto.

Menurut Adhie, Rizal telah dirawat sekitar satu bulan di rumah sakit, dan terakhir kali muncul di depan publik saat menghadiri acara ulang tahun Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Pandjaitan.

"Dua bulan yang lalu, saat makan malam," ujarnya seperti dikutip Antara

Sosok kontroversial

Rizal Ramli lahir di Padang pada 10 Desember 1954. Jauh sebelum namanya mencuat sebagai ekonom, pria yang menamatkan S1 pada Jurusan Teknik Fisika di Institut Teknologi Bandung ini adalah seorang kritikus ulung. Komentar pedas serta gaya bicaranya yang keras kerap kali membuat banyak pihak tidak nyaman.

Pada 1978, dia sempat dibui di Sukamiskin, Bandung, selama 1,5 tahun gara-gara menuntut Presiden Soeharto berhenti. Selanjutnya, nama Rizal seolah tak pernah terdengar lantaran ia menghabiskan banyak waktunya untuk sekolah.

Pada 1990, usai memperoleh gelar doktor bidang ekonomi dari Universitas Boston, Amerika Serikat, Rizal mulai naik daun saat menjabat Direktur Pelaksana Econit Advisory Group.

Saat itu, analisis-analisis lembaga yang dipimpinnya mulai banyak disimak para ekonom dan para pengambil kebijakan. Namun, hobinya mengkritik kinerja pemerintah Soeharto—yang dinilainya mengandung banyak kelemahan—tetap tak berubah.

Simak saja pada pertengahan 1994, misalnya, ketika pemerintah Orde Baru hendak mengubah sistem prosedur ekspor-impor barang. Waktu itu, dia menentang keras kehadiran Societe Generale de Surveilance (SGS) di Indonesia, yang menurutnya menjadi "raja" pabean. 

Surveyor asal Swiss itu menurutnya meneken kontrak sebagai penjaga pabean di Indonesia dari 1985 dan akan beroperasi hingga 1997.

Tidak hanya tumpang tindih dan berbenturan dengan tugas bea cukai, Rizal berpandangan hadirnya SGS di Indonesia sebagai pemborosan. Sebab, saban tahun pemerintah harus menyetor Rp450 miliar untuk SGS, sekitar 15 persen dari penerimaan bea masuk waktu itu. 

Nama Rizal pun kian menyembul ketika dia menduduki berbagai jabatan strategis dalam pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Bayangkan saja, dalam waktu kurang dari satu 1,5 tahun, dia sudah bergonta-ganti posisi dari Kepala Badan Urusan Logistik, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, hingga Menteri Keuangan. Posisi yang terakhir ini resmi disandang Rizal sejak pertengahan Juni 2001.

Dan sebagai pejabat, Rizal bukan tipikal orang yang betah duduk manis. Dia termasuk sosok kontroversial dan berani mengambil posisi kontra terhadap IMF. Dalam polemik soal independensi Bank Indonesia (BI), misalnya, Rizal berupaya keras mencopot Gubernur BI dan para deputinya—antara lain lewat amandemen Undang-Undang. Hal itu, di mata IMF, jelas dianggap sebagai intervensi terhadap independensi bank sentral.

Namun, sikap Rizal saat itu jelas. Ia meminta IMF sebagai lembaga donor bersikap fair terhadap Indonesia dalam pemberian pinjaman. Ia tak ingin sebagai pemberi utang, IMF terlibat terlalu jauh terhadap pengambilan kebijakan ekonomi Indonesia, yang justru berpotensi pada kian parahnya penyakit ekonomi yang diderita. Bahkan, sebelun menjabat menteri, pada 1997 Rizal telah mengandaikan IMF sebagai dewa amputasi alih-alih dewa penyelamat, lantaran beberapa negara yang menjadi pasiennya justru terperosok ke krisis yang lebih dalam.

Sikap demikian juga ia tunjukkan ketika bergabung di kabinet pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Menggantikan Indroyono Soesilo sebagai Menteri Kemaritiman dan Sumber Daya pada September 2015, ia secara terbuka mengecam kebijakan pemerintah atau rekannya di kabinet.

Rizal adalah orang yang dengan keras mengkritik proyek 35.000 Megawatt yang dicanangkan pemerintahan Joko Widodo dan menganggapnya mustahil—dan hal tersebut ternyata benar belaka. Kali lain, ia bersilang pendapat dengan eks Dirut Pelindo II R.J Lino. Bahkan, tanpa pemberitahuan, ia pernah masuk ke area pelabuhan perseroan seraya mengebor beton penghalang kereta api ke pelabuhan.

Rizal berargumen tindakan dan komentar panasnya merupakan tindakan keterbukaan informasi yang disukai investor.

Pun demikian, pada 27 Juli 2016, sekitar 11 bulan setelah Rizal menjabat, perombakan kabinet melengserkannya. Kepada Tempo, ia sempat mengaku didorong banyak pihak untuk maju ke pemilihan gubernur DKI Jakarta. Namun, ia menahan diri dan enggan dianggap sebagai orang yang gila jabatan.

Kepergian sosok kontroversial itu memberikan rasa kehilangan bagi banyak orang, salah satunya pada diri ekonom senior yang pernah menjadi Menteri Keuangan era Susilo Bambang Yudhoyono, Chatib Basri. Dalam unggahannya di media sosial X, Chatib menilai Rizal sebagai ekonom cemerlang dan aktivis yang gigih. 

"Selamat jalan Bang Rizal. Kehilangan besar untuk Indonesia," tulisnya.

Related Topics