NEWS

Sejumlah Produsen Migas Mulai Siapkan Teknologi Penangkap Karbon

Pemerintah siapkan peraturan menteri soal CCS/CCUS.

Sejumlah Produsen Migas Mulai Siapkan Teknologi Penangkap KarbonIlustrasi Pajak Karbon. (ShutterStock/Elnur)
02 December 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Sejumlah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) berencana membangun fasilitas Carbon Capture Storage (CCS) dan Cabon Capture Utilizitation Storage (CCUS) dalam rencana pengembangan lapangan migasnya.

ExxonMobil, misalnya, telah menggandeng PT Pertamina (Persero) untuk mengembangkan CCS dan CCUS—yang telah mereka mulai sejak 30 tahun lalu—di Indonesia. 

"Ini merupakan solusi dari transisi energi dan di satu sisi peningkatan produksi migas yang masih menjadi kebutuhan negara di seluruh dunia," ujar Manager, Commercial Analysis, Business Development di ExxonMobil, Egon van der Hoeven, pada IOG Convention di Bali, Selasa (30/11).

Egon mengatakan perusahaannya memang tengah menyasar negara-negara di Asia untuk menjadi partner dalam pengembangan CCS dan CCUS. ExxonMobil bahkan berencana menganggarkan lebih dari US$50 miliar dalam enam tahun ke depan untuk berbagai inisiatif rendah karbon. "Kami melihat peluang dan tertarik untuk bekerja sama untuk CCS, rantai nilai hidrogen dan solusi energi," katanya.

Kendati begitu, Indonesia menurutnya punya keunggulan tersendiri karena memiliki potensi 5.000 metrik ton kapasitas CO2 yang bisa diolah kembali dalam reservoir.

"Karbon ini kemudian bisa menjadi potensi pengolahan selain bisa di-recycle untuk menjadi bahan baku juga bisa mengurangi emisi karbon. Di satu sisi, dengan memanfaatkan teknologi ini kita tetap bisa mempertahankan produksi migas," jelas Egon.

Dalam kesempatan sama, Presiden Direktur BP Berau Ltd, Nader Zaki, mengatakan pengembangan CCS dan CCUS menjadi bagian penting dalam industri hulu migas saat ini. Pasalnya, teknologi tersebut dapat menekan biaya mitigasi perubahan iklim melalui pajak atau pasar karbon.

Di sisi lain, KKKS juga tetap bisa menjaga kapasitas produksinya seiring dengan peningkatan kebutuhan energi di masyarakat.

"Kami berencana untuk membangun CCUS pertama di Indonesia. Dengan langkah ini kami menjawab dilema yang dihadapkan pada industri hulu migas saat ini, untuk meningkatkan produksi dan juga mengurangi emisi," ujar Nader.

Rencananya, proyek CCUS BP Berau akan memiliki kapasitas 4 metrik ton CO2 per tahun. Nantinya, melalui pabrik ini, CO2 yang dihasilkan oleh proses pengeboran diinjeksikan kembali ke reservoir. Kemudian, melalui teknologi EGR, perusahaan bisa mengubah emisi tersebut menjadi gas. Ia menaksir, BP bisa meningkatkan cadangan gas pada 2035 sebanyak 300 bcf dan naik menjadi 520 bcf pada 2045.

Hal serupa juga disampaikan Direktur Utama Medco E&P, Ronald Gunawan, dalam konferensi pers sehari setelahnya. "Untuk mencapai net zero di industri migas, CCS itu mungkin akan menjadi salah satu faktor penting jadi kita akan lihat case by case. Medco sendiri sudah deklarasikan bahwa kami akan mencapai net zero di 2050," katanya.

ESDM Siapkan Permen soal CCS/CCUS

Sementara itu, Manajer Nasional CoE for CCs/CCU ITB Mohammad Rachmat Sule mengatakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tengah meminta masukan dari berbagai pihak ihwal penyusunan peraturan menteri tentang pengembangan teknologi tersebut.

"Kami dibantu juga dengan teman-teman KKKS draf peraturan menteri terkait CCUS ini yang akhir Desember ini insya Allah selesai," terangnya.

Ia juga memaparkan bahwa pengembangan CCS dan CCUS di Indonesia dimulai di Gundih, yang tiap harinya bisa melepaskan 800 ton CO2e per hari ke udara. 

"Kalau kita buatkan skenario dengan menangkap semua CO2 yang ada itu dan mengirim ke struktur Kedung Tuban, nah ternyata at the end akan ada incremental gas production sebesar 5,4 persen atau 36 BSCF kalau diuangkan US$100-120 juta," terangnya.

Menurut Rachmat, langkah itu membutuhkan belanja modal dan operasional yang mahal—masing-masing diestimasikan mencapai US$49 juta dan US$20 juta. Namun, hasil dari serapan karbon serta tambahan cadangan gas baru dari teknologi tersebut akan menguntungkan.

Apalagi jika mekanisme pasar karbon wajib di Indonesia telah berjalan. Sebab, tiap karbon yang diserap oleh teknologi itu akan membuat perusahaan tak melebihi kuota atau batas emisi. Mereka bahkan bisa menjual sisa kuotanya itu ke perusahaan lain.

"Pemerintah Jepang juga menawarkan joint crediting mecanism. Jadi seluruh capex bisa mereka biayai dengan syarat carbon credit-nya dibagi. tentu saja karena ini pertama boleh-boleh saja lah. karena toh kita banyak belajar juga dari proyek ini," ujarnya.

Related Topics