NEWS

Sri Mulyani Waspadai Potensi Resesi RI

Indonesia peringkat 14 negara berpotensi resesi di Asia.

Sri Mulyani Waspadai Potensi Resesi RIMenteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati dalam keterangan pers secara daring, Sabtu (16/4). (dok. Kemenkeu)
13 July 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mewaspadai potensi resesi yang menghantui Indonesia. Pasalnya, survei terbaru Bloomberg menempatkan RI ke dalam peringkat 14 dari 15 negara di Asia yang kemungkinan mengalami resesi ekonomi.

"Kami tidak akan terlena, kami tetap waspada," ujarnya dalam Konferensi Pers Kegiatan Sampingan G20 Indonesia 2022 di Nusa Dua, Badung, Bali, Rabu (13/7) seperti dikutip Antara.

Sebagai informasi, dalam surveinya Bloomberg menyebut Indonesia memiliki kemungkinan resesi sebesar tiga persen, jauh dari Sri Langka yang menempati posisi pertama dengan potensi resesi 85 persen.

Di bawah Sri Langka masih ada pula Selandia Baru dengan persentase 33 persen, Korea Selatan 25 persen, Jepang 25 persen, dan China 20 persen.

Meski tak akan terlena, Sri Mulyani berpendapat persentase potensi resesi Indonesia yang sangat rendah tersebut menggambarkan ketahanan pertumbuhan ekonomi domestik, indikator neraca pembayaran, hingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang kuat.

"Dari sisi korporasi maupun dari rumah tangga kita juga relatif baik," tuturnya sembari menekankan bahwa pemerintah akan menggunakan seluruh instrumen kebijakan, baik fiskal maupun moneter, untuk mengawasi kemungkinan tersebut.  

Menurut Sri Mulyani, sektor keuangan Indonesia relatif lebih kuat semenjak krisis global tahun 2008-2009. Dengan demikian daya tahan Indonesia membaik dan risiko kredit macet perbankan pun terjaga. Hal tersebut menggambarkan seluruh sektor belajar dari krisis global pada 2008-2009.

"Namun kita tetap harus waspada karena ini akan berlangsung sampai tahun depan. Risiko global mengenai inflasi dan resesi atau stagflasi sangat nyata dan akan menjadi salah satu topik penting pembahasan di G20 Indonesia," jelasnya.

​​​​​​​Sinyal krisis

Sebelumnya, sinyal krisis finansial global imbas kenaikan suku bunga bank sentral AS, The Federal Reserve, juga sempat disampaikan Sri Mulyani. Pasalnya, untuk meredam inflasi berkepanjangan, bank sentral Amerika Serikat (AS) tersebut harus mengerek suku bunga lebih agresif.

"Fed Fund Rate (FFR) itu melakukan overshooting untuk memukul inflasi kembali turun, namun yang turun tak hanya inflasi tapi juga pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat," ujarnya di DPR bulan lalu.

"Jadi sekarang ini kita harus sangat hati-hati karena dengan tren suku bunga yang naik, potensi terjadinya krisis keuangan di berbagai negara di dunia, kita lihat akan mungkin terjadi," imbuhnya.

Menurut Sri Mulyani, kondisi saat ini sangat berbeda dengan situasi menjelang krisis dalam dua dekade terakhir. Pasalnya, meski mengalami tekanan ekonomi, dalam sepuluh tahun terakhir AS belum pernah menaikkan suku bunga dengan sangat agresif

"Itu adalah situasi exceptional. Tapi kalau lihat historisnya, sebenarnya suku bunga di AS pernah mencapai 5 persen, 6 persen, 9 persen, bahkan 20 persen pada saat inflasi mencapai 14 persen," imbuhnya.

Jika, AS melakukan penyesuaian pada tingkat suku bunganya secara lebih agresif dibandingkan satu dekade terakhir, maka resesi sangat mungkin terjadi akibat terganggunya konsumsi. Jika dikombinasikan dengan inflasi yang tak kunjung turun, maka kondisi ini bakal berujung pada stagflasi.

"Tahun ini kita lihat suku bunga 0,25 dan kemarin Fed Fund Rate (FFR) sudah naik 50 persen dan akan menuju ke 3,5 persen. Ini artinya dolar jadi sangat ketat dalam hal ini akan memberikan konsekuensi ke seluruh dunia karena interest rate global akan mengalami kenaikan," tuturnya 

Related Topics