Kemenperin dan APSyFI Saling Tuding Soal Data dan Kuota Tekstil

- Kisruh soal mafia impor tekstil antara Kemenperin dan APSyFI semakin memanas
- APSyFI menuduh Kemenperin tidak transparan terkait data impor, sementara Kemenperin menepis tudingan tersebut
- Direktur Eksekutif Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Rayon Tekstil, Agus Riyanto, menyebut adanya dugaan pungli oknum ASN terkait penerbitan Pertimbangan Teknis (Pertek)
Jakarta, FORTUNE - Perang terbuka terjadi antara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI) terkait kebijakan impor tekstil. Polemik ini diwarnai saling tuding soal lonjakan data impor yang janggal, kepatuhan administratif, hingga dugaan adanya praktik mafia kuota yang dilindungi oknum birokrat.
Di tengah tekanan hebat pada industri tekstil nasional, Kemenperin menyoroti adanya anomali pada aktivitas anggota APSyFI. Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, mengatakan impor benang dan kain oleh anggota asosiasi justru melonjak drastis hingga 239 persen dalam setahun, dari 14,07 juta kilogram pada 2024 menjadi 47,88 juta kilogram pada 2025.
“Ada anggota APSyFI yang memanfaatkan fasilitas kawasan berikat maupun API Umum sehingga bebas melakukan impor besar-besaran. Di satu sisi menuntut proteksi, di sisi lain justru aktif menjadi importir. Ini kontradiktif dengan semangat kemandirian industri,” ujar Febri dalam keterangannya, Senin (25/8).
Kemenperin juga menyoroti rendahnya kepatuhan administratif anggota APSyFI. Dari 20 perusahaan anggota, lima di antaranya sama sekali tidak melaporkan data aktivitas industrinya melalui Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas).
Tudingan ini dibantah mentah-mentah oleh APSyFI. Sekretaris Jenderal APSyFI, Farhan Aqil Syauqi, menyatakan lima perusahaan yang disebut tidak patuh itu sejatinya sudah tutup akibat kebijakan kuota impor yang diterbitkan Kemenperin sendiri.
“Bagaimana perusahaan yang sudah tutup bisa isi SIINas? Semua karyawannya sudah di-PHK,” ujarnya.
Farhan juga menepis tudingan anggotanya menjadi importir kain jadi. Ia meluruskan bahwa impor yang dilakukan adalah untuk bahan baku hulu seperti asam tereftalat atau polyester chip, bukan produk jadi.
“Kalaupun anggota kami perlu impor, itu bahan baku. Jadi, kalau ada anggota kami yang dapat kuota impor kain dalam jumlah besar, itu yang perlu diperiksa justru pejabat Kemenperin yang kasih kuota,” ujarnya.
Bagi Farhan, pernyataan Kemenperin justru merupakan upaya mengalihkan isu dan menutupi praktik lancung di dalam kementerian.
“Kecurigaan kita makin besar terhadap praktik mafia kuota impor di Kemenperin ini,” kata Farhan.
Dugaan adanya permainan kotor ini diperkuat oleh pihak eksternal. Direktur Eksekutif Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Rayon Tekstil, Agus Riyanto, mengaku mengantongi salinan surat aduan terkait dugaan pungutan liar (pungli) oleh oknum ASN dalam penerbitan pertimbangan teknis (Pertek) impor.
“Akibat sikap abai ini, banyak korban PHK hingga fenomena deindustrialisasi dini di sektor tekstil. Kami menduga jaringan mafia ini sudah menjadi sindikat yang mendapat dukungan oknum birokrat,” ujar Agus.
Melihat kebuntuan dan keseriusan masalah ini, Agus meminta Presiden Prabowo Subianto turun tangan secara langsung guna menyelamatkan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional dari ancaman PHK massal.