NEWS

The Fed: Krisis Properti Tiongkok Berisiko Meluas ke Ekonomi Global

Krisis bisa meluas seiring besarnya skala ekonomi Tiongkok.

The Fed: Krisis Properti Tiongkok Berisiko Meluas ke Ekonomi GlobalIlustrasi proyek properti. Shutterstock/DreamArchitect
10 November 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Bank sentral Amerika Serikat atau The Fed memperingatkan bahwa krisis properti di Tiongkok dapat berdampak luas terhadap perekonomian global—termasuk perekonomian AS. Meluasnya imbas negatif itu diyakini bisa terjadi mengingat besarnya skala perekonomian Tiongkok.

Dalam laporan terbarunya, seperti dikutip dari South China Morning Post, Rabu (10/11), The Fed mewanti-wanti bahwa pengawasan Beijing terhadap pengembang atas kondisi utangnya dapat menekan pasar properti serta sektor bisnis lainnya. Pada gilirannya, hal itu dapat menciptakan spillover ke pasar keuangan serta koreksi secara tiba-tiba harga real estate.

Krisis properti mengemuka saat Evergrande Group, perusahaan properti terbesar kedua di Tingkok, mengumumkan kepemilikan utang US$300 miliar atau lebih dari Rp4.300 triliun. Perusahaan ini juga dilaporkan telah melewatkan pembayaran bunga surat utang luar negerinya dalam beberapa bulan terakhir.

Itu belum termasuk peristiwa gagal bayar obligasi pada perusahaan seperti Fantasia Holdings Group dan Sinic Holdings Group. 

Sebelumnya, otoritas bank Sentral AS pada September tampak meremehkan potensi risiko penularan krisis dari Evergrande Group. Pada saat itu, The Fed mengatakan situasi sedemikian “sangat khusus untuk Tiongkok”.

The Fed menyatakan, meski pemerintah Cina telah memperkenalkan langkah-langkah untuk “mendinginkan” gejolak pasar properti, namun “risiko kerentanan finansial akan terus meningkat”.

Berdampak ke pertumbuhan ekonomi

Sebagaimana diwartakan CNN, kekhawatiran krisis sebenarnya telah surut dalam beberapa pekan terakhir. Ini terjadi setelah Evergrande meraih pendanaan demi membayar utang luar negerinya, termasuk US$144 juta dari penjualan saham. 

Bank Rakyat Tiongkok sempat menyatakan bahwa Evergrande telah salah mengelola bisnisnya. Namun, risiko terhadap sistem keuangan dapat dikendalikan.

Pemerintah Cina juga dikabarkan telah meminta para pengembang untuk membayar utangnya, khususnya pembayaran pokok dan bunga obligasi luar negeri. Namun, dalam beberapa pekan terakhir, banyak pengembang yang melaporkan masalah arus kas.

Pengembang juga meminta para kreditur memberi perpanjangan waktu pembayaran pinjaman. Opsi lainnya adalah peringatan potensi gagal bayar atau default.

Namun, kondisi itu berisiko tinggi. Sebab, industri real estate menyumbang 30 persen terhadap perekonomian Tiongkok.

Seperti dilaporkan Fortune (19/10), perekonomian Tiongkok pada kuartal ketiga hanya tumbuh 4,9 persen secara tahunan, melambat dari 7,9 persen pada kuartal sebelumnya. Perlambatan ini salah satunya terjadi akibat krisis properti. Faktor lainnya yang turut berkontribusi ialah krisis energi.

Related Topics