Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
For
You

Mahalnya Biaya Energi Bersih Jadi Tantangan Investasi Hilirisasi

ilustrasi panel surya PLN untuk mendorong produksi green energy (dok. PLN)
ilustrasi panel surya PLN untuk mendorong produksi green energy (dok. PLN)
Intinya sih...
  • Biaya energi bersih masih menjadi tantangan besar dalam investasi hilirisasi industri.
  • Pemerintah berupaya menyeimbangkan dorongan hilirisasi sumber daya alam dan transisi energi bersih.
  • Pemerintah telah menetapkan hilirisasi sebagai program strategis nasional.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, FORTUNE — Pemerintah mengakui tingginya biaya energi bersih masih menjadi salah satu tantangan besar dalam mendorong investasi pada sektor hilirisasi industri, terutama pada proyek-proyek yang menargetkan penggunaan teknologi ramah lingkungan.

Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala BKPM, Todotua Pasaribu, menegaskan persoalan pokok menerapkan teknologi hijau bukan pada niat atau kesiapan regulasi, melainkan pada biaya dan efisiensi energi yang dihasilkan.

“Semua kembali ke harga strategis yang dihasilkan,” kata Todotua dalam acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Jakarta, Selasa (28/10)

Menurut Todotua, meski Indonesia berhasil menjalankan hilirisasi pada sektor nikel hingga ke tier dua dan tiga, bahkan mulai masuk ke industri baterai, sebagian besar smelter masih memakai batu bara sebagai sumber energi utama, karena berbiaya murah.

Ia menyatakan dari sisi efisiensi dan produktivitas, penggunaan batu bara masih menjadi pilihan rasional bagi investor. Dalam perhitungannya, biaya energi untuk satu smelter nikel tidak boleh melebihi US$0,05–0,06 per kilowatt-jam (kWh) agar tetap kompetitif. Hingga kini, hanya energi dari batu bara yang mampu memenuhi kisaran harga tersebut.

“Nah, inilah tantangan kita. Kita ingin sebersih mungkin, tapi kalau biayanya besar, tidak mungkin bersaing. Di sinilah dilema kompetitif itu muncul,” ujarnya.

Tantangan menuju hilirisasi

Menurut Todotua, pemerintah saat ini tengah berupaya menyeimbangkan antara dorongan hilirisasi sumber daya alam dan transisi energi bersih. Pemerintah, katanya, sedang berfokus mendukung rantai pasok energi hijau (green energy supply chain), termasuk industri panel surya dan biodiesel.

Namun, upaya tersebut masih terganjal oleh harga bahan baku dan komponen yang tinggi.

“Kalau cost of material-nya bisa ditekan dan disesuaikan, maka produk energi hijau kita bisa kompetitif,” ujarnya.

Ironisnya, kata Todotua, beberapa negara maju justru kini kembali ke batu bara karena tekanan ekonomi global.

“Kita mau buat yang [sehijau mungkin]. Tapi, kalau biayanya besar, enggak mungkin,” ujarnya.

Pemerintah menjadikan hilirisasi sebagai program strategis nasional meski tantangannya tidaklah kecil. Todotua mengatakan kebijakan tersebut bukan sekadar teori, melainkan tergolong dalam peta jalan (roadmap) dan nomenklatur pembangunan nasional.

“Presiden sudah menetapkan bahwa kita harus menuju green energy. Hilirisasi ini tidak hanya soal nilai tambah, tapi juga soal transformasi ekonomi,” ujarnya.

Pemerintah, dia melanjutkan, telah menyiapkan berbagai langkah reformasi perizinan, insentif fiskal, dan kebijakan investasi strategis demi mendorong industri bernilai tambah tinggi sekaligus membuka lapangan kerja baru.

“Kita tahu kekuatan kita di mana, dan pemerintah sekarang serius mengelola investasi yang benar-benar bernilai. Pembenahan perizinan dan regulasi terus dilakukan. Bahkan dalam satu tahun ini, sudah banyak terobosan [peraturan presiden] yang dikeluarkan,” kata Todotua.

 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Bonardo Maulana
EditorBonardo Maulana
Follow Us

Latest in News

See More

Toyota Disebut-Sebut Tertarik Bangun Pabrik Etanol di Indonesia

28 Okt 2025, 16:20 WIBNews