Krisis Eksekusi AI: Mengapa Taruhan Miliaran Dolar AS Tidak Membuahkan Hasil

Ada satu pertanyaan pelik yang belakangan ini kemungkinan dihadapi oleh para eksekutif perusahaan: "Bagaimana kita benar-benar berpindah dari tahap uji coba kecerdasan buatan (AI) ke tahapan produksi?"
Pertanyaan ini wajar mengingat besarnya pertaruhan. Total pengeluaran AI generatif di seluruh dunia diperkirakan mencapai US$644 miliar pada 2025, atau meningkat 76,4 persen dari 2024. Sementara itu, perusahaan-perusahaan bertaruh demi keunggulan pada masa mendatang dengan kebijakan belanja yang tepat.
Namun demikian, kenyataan di lapangan berbeda dengan aspirasi para eksekutif tersebut. Pasalnya, di tengah investasi besar-besaran, sebagian besar organisasinya justru terjebak pada apa yang disebut sebagai "pilot purgatory". Mereka telah mencapai beberapa keberhasilan awal, tetapi sulit menjembatani kesenjangan antara manfaat dan pengalaman yang dijanjikan dengan transformasi pada seluruh perusahaan.
Kabar baiknya, AI memberikan nilai nyata dan terukur, walaupun hanya dalam situasi spesifik.
Meskipun disrupsi AI banyak dibicarakan akhir akhir ini, sebagian besar dari kesuksesan implementasinya tidak menggantikan sistem inti pada perusahaan. AI lebih sering ditambahkan sebagai lapisan yang diletakkan di atas sistem lama seperti CRM dan ERP, bukan menggantikannya.
Padahal, prinsip ini penting: AI akan memberikan hasil terbaik ketika digunakan untuk melengkapi proses kerja yang telah ada dan meningkatkan kualitas pengambilan keputusan manusia, bukan sepenuhnya menggantikan proses bisnis.
Konteks Indonesia: Dari Ambisi Menuju Eksekusi
Pengamatan kami di Indonesia menunjukkan bahwa para pelaku bisnisnya berupaya mengikuti tren global dengan kesenjangan terbesar terjadi antara ambisi dan kesiapan operasional.
Banyak perusahaan terkemuka pada sektor telekomunikasi, keuangan, BUMN, energi dan logistik berinvestasi besar untuk AI, tapi sedikit yang mencapai skala produksi dan kemanfaatan secara penuh.
Tantangan utama meliputi data yang terfragmentasi, sistem ERP dan CRM lama yang sulit diintegrasikan, serta kekurangan talenta AI dan tata kelola data.
Kami tetap melihat momentum dan keinginan yang kuat dengan dukungan inisiatif nasional, seperti Indonesia Digital Vision 2045 dan strategi AI BRIN. Banyak BUMN membuktikan bahwa AI yang disesuaikan untuk kebutuhan spesifik dan fokus, dapat memberikan nilai nyata.
Langkah selanjutnya bagi perusahaan Indonesia adalah membangun kepercayaan, tata kelola, dan disiplin eksekusi demi mengintegrasikan AI ke dalam model operasi inti, bukan hanya menambah proyek uji coba.
Tiga Penyebab Kegagalan Utama
Berdasar atas pengalaman menganalisis puluhan inisiatif AI yang terhambat, kami mengidentifikasi tiga pola kegagalan utama yang bisa menjelaskan mengapa banyak proyek tadinya menjanjikan, akhirnya gagal memberikan nilai dan berkembang.
Pertama, adanya kesenjangana realitas di dalam sistem. Kami sering melihat "presentasi strategi AI" yang mengabaikan isu-isu mendasar seperti kualitas data, tata kelola, dan integrasi sistem. Hal ini mungkin tidak semenarik agen bot yang ingin Anda bangun, tetapi justru menjadi hal yang sangat penting dalam keberhasilan implementasi
Kemudian, AI generatif yang tanpa batasan. Momentum ChatGPT menciptakan euforia gelombang menuju AI generatif yang justru belum siap dihadapi sebagian besar organisasi. Semua orang menginginkan chatbot, tapi hanya sedikit yang memahami prompt engineering, model grounding, atau bahwan pengelolaan resiko atas halusinasi AI.
Terakhir, atau ketiga, masalah yang dihadapi manajer lini. Di sinilah semuanya menjadi menarik. Hambatan paling signifikan dalam membawa AI pada skala besar di organisasi, sering kali bukan datang dari para eksekutif atau tim teknis. Hambatan sebenarnya adalah manajer menengah atau manajer lini, yakni mereka yang memikul tanggung jawab laba-rugi dan risiko eksekusi.
Perlakuan dari Organisasi yang Sukses
Gartner memprediksi lebih dari 40 persen proyek agensi AI akan dibatalkan pada akhir 2027. Penyebabnya adalah peningkatan biaya, ketidakjelasan nilai bisnis, atau tidak memadainya pengendalian risiko.
Pun begitu, belajar dari organisasi yang berhasil mengatasi tantangan ini, ada beberapa hal penting yang mereka lakukan secara berbeda.
Hal pertama, mereka memulai dengan pertanyaan bisnis, bukan teknologi. Transformasi AI dimulai dengan pertanyaan dasar: keputusan mana yang bisa ditingkatkan dengan AI, alur kerja apa yang perlu disesuaikan, dan siapa saja yang butuh peran atau keterampilan baru. Setelah itu jelas, keputusan teknis seperti pemilihan platform, model, dan vendor jadi lebih mudah.
Yang kedua, pemikiran strategis dan cerdas dalam menyikapi keputusan membangun sendiri atau membeli. Banyak organisasi mencoba mengalihdayakan pengembangan model AI untuk fungsi inti, seperti penetapan harga, penilaian risiko, atau segmentasi pelanggan. Kegagalan sering terjadi dalam hal-hal semacam itu karena kompleksnya logika bisnis dan uniknya kondisi yang ternyata tersimpan sebagai pengetahuan internal organisasi tersebut. Walhasil, hal yang menjadi keunggulan kompetitif tidak bisa dialihdayakan. Kemitraan dengan pihak lain tetap penting untuk membangun model dasar, infrastruktur, dan platform eksperimen yang bukan menjadi keunikan anda.
Ketiga, pemosisian ulang terhadap AI dari inovasi ke kinerja. Kebanyakan projek AI akan tetap berada pada fase eksperimentasi ketika diposisikan sebagai inisiatif inovasi. Transformasi berkelanjutan terjadi ketika AI benar-benar diintegrasikan dalam proses bisnis, perencanaan strategi bisnis, tinjauan operasional, dan pengelolaan kinerja.
Para pemimpin bisnis harus senantiasa mengajukan pertanyaan mendasar: “Bagaimana AI dapat membantu kita menjadi lebih baik?”
Terakhir, dasar kepercayaan dan tata kelola. Ini yang terpenting dalam amatan kami. Organisasi sukses memahami adopsi AI adalah sebuah manajemen perubahan, bukan sekadar teknologi. Mereka senantiasa terbuka dalam mengangani aspek aspek yang terkait dengan manusia.
Alih-alih menyikapi AI sebagai ancaman terhadap pekerjaan, mereka mampu memosisikan AI sebagai aspek yang memperkuat dan mendukung manusia. Misalnya, AI menyusun rancangan, dan analis bisnis menyempurnakannya dengan wawasan strategis. Dengan demikian keterlibatan kearifan manusia dapat terjadi, dan pekerjaan rutin dapat dikurangi.
===
Tulisan ini sepenuhnya merupakan opini Anshul Mahendra, EY-Parthenon Indonesia Strategy & Transaction Associate Partner.


















