Riset EY: Efek Pandemi, 56% Pekerja Perusahaan Teknologi Ingin Resign

Jakarta, FORTUNE – Riset terbaru EY mengungkap sejumlah peluang dan tantangan pada sektor teknologi yang akan terjadi sepanjang 2023. Firma jasa profesional itu mengatakan sektor industri tersebut masih terkena efek Covid serta gejolak perekomonian seperti inflasi, krisis energi, dan menurunnya kepercayaan konsumen.
Laporan EY menggarisbawahi soal tren pengunduran diri besar-besaran atau The Great Resignation, yang kemungkinan masih akan terjadi akibat restrukturisasi prioritas kerja selama pandemi.
Jajak pendapat menunjukkan 56 persen responden karyawan pada industri teknologi mengaku tengah mempertimbangkan untuk hengkang karena ingin mendapat gaji lebih tinggi, program kesejahteraan lebih baik, dan peluang karier baru.
Saat ini industri teknologi dipusingkan dengan kurangnya tenaga kerja untuk mendukung pertumbuhan jangka panjang dan penghentian perekrutan serta pemutusan hubungan kerja.
Dalam keterangan persnya (15/2), EY Global TMT People Advisory Services Leader, Susan Robinson, mengatakan bisnis mesti menyeimbangkan tenaga kerja dengan mengambil sejumlah langkah seperti mempertahankan kinerja, mengatur ulang pengalaman kerja, dan membentuk tim dengan latar belakang anggota yang beragam.
Perusahaan juga bisa menempuh kebijakan lain seperti menawarkan paket remunerasi sebagai wujud penghargaan dan kesejahteraan bagi karyawan, serta merancang ulang kerangka karier mereka demi mendukung perubahan perannya.
<p>Tren merger dan akuisisi</p>

Laporan EY yang bertajuk “10 peluang terbaik bagi perusahaan teknologi pada 2023” ikut menyoroti tren merger dan akuisisi (M&A) pada perusahan teknologi. Secara keseluruhan, minat perusahaan untuk melakukan transaksi bisnis itu meningkat seiring turunnya valuasi perusahaan teknologi.
Studi itu juga menunjukkan 72 persen responden CEO pada industri teknologi berencana mengejar langkah M&A dalam 12 bulan ke depan, ketimbang 59 persen responden CEO pada semua industri.
“Dengan tingginya inflasi, krisis energi, dan menurunnya kepercayaan konsumen, pada tahun 2023, peluang terbesar perusahaan teknologi adalah menerapkan strategi merger dan akuisisi (M&A) secara aktif,” kata EY Global TMT Strategy and Transactions Leader, Olivier Wolf.
Di Indonesia, para pendiri perusahaan rintisan telah memanfaatkan peluang M&A. Dalam dua bulan terakhir saja, terdapat beberapa kesepakatan M&A teknologi yang diumumkan secara publik.
Pada akhir tahun lalu, perusahaan teknologi pendidikan lokal, Kiddo, diakuisisi Flying Cape, perusahaan mitra yang berbasis di Singapura. Sementara itu, platform logistik yang berbasis di Jakarta, Logol, dibeli mitranya di Singapura, Haulio. Startup logistik Swift diambil alih oleh grup GoTo.
“Mengingat penurunan ekonomi dan perlambatan penanaman modal ventura secara global, tidak sedikit startup yang terpaksa menerima valuasi yang lebih moderat,” ujar EY Indonesia Strategy and Transactions Partner, Oki Stefanus.
Menurutnya, aksi merger dan akuisisi menjadi strategi positif untuk memperkaya ekosistem perusahaan rintisan. Dia menyebut itu menjadi pilihan yang mesti diwaspadai oleh para pendiri dan investor startup pada 2023.