BUSINESS

Terkait Evergrande, Ini Sebab Besarnya Investasi Properti di Tiongkok

Pemerintah Tiongkok ikut berperan dalam krisis yang terjadi.

Terkait Evergrande, Ini Sebab Besarnya Investasi Properti di TiongkokIlustrasi properti. (ShutterStock_sommart sombutwanitkul)
22 October 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Kasus perusahaan properti raksasa asal Tiongkok, Evergrande, yang masih berkepanjangan menunjukkan bahwa sektor properti merupakan bagian penting dari perekonomian Negeri Tirai Bambu. 

Peneliti Kenneth S. Rogoff dan Yuanchen Yang pada 2020 menulis sebuah makalah yang memperkirakan industri real estat dan konstruksi berkontribusi sekitar 29% pada perekonomian Tiongkok. Jumlah ini jauh lebih banyak dari negara lain, sehingga tidak heran jika pemerintah Tiongkok menaruh perhatian besar pada kasus Evergrande.

Menanggapi hal ini, pengamat ekonomi internasional dari Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, menganggap kasus Evergrande berkaitan dengan ambisi pemerintah Tiongkok mendorong infrastruktur secara besar-besaran dan salah satu turunannya memang sektor properti. Perhatian atas pembangunan itu ditujukan untuk memungkinkan berdirinya kota-kota masa depan di sana.

“Sebenarnya bukan sektor properti saja, mereka (Tiongkok) itu sudah kemana-mana, properti, infrastruktur, energi, dan seterusnya. Jadi, ini adalah bagian dari megastrategi Tiongkok untuk menjadi negara maju. Dan kalau konteksnya negara maju, berarti harus punya semacam fondasi yang cukup solid. Maka dari itu, mereka membangun dimana-mana,” ujar Fithra kepada Fortune Indonesia (21/10).

Fithra menyampaikan, investasi Tiongkok memang sangat besar di berbagai sektor, mulai dari ekonomi digital, sektor finansial, infrastruktur, energi terbarukan, dan lainnya. Sejak memasuki abad baru, Tiongkok memang sangat agresif dalam mengembangkan perekonomiannya.

“Bahkan, 10 tahun setelah tahun 2000, jumlah output produksi Tiongkok, sudah hampir memenuhi seperti output produksi dunia. Ini karena Tiongkok menjadi semacam global hub untuk produksi dan perdagangan internasional,” kata Fithra yang juga menjabat sebagai Direktur eksekutif Lembaga Next Policy ini.

Peran pemerintah Tiongkok dalam kasus Evergrande

Menurut Fithra, krisis gagal bayar utang Evergrande tidak lepas dari peran pemerintah Tiongkok mendorong sektor swasta untuk terlibat secara masif dalam pembangunan perekonomian dalam negeri. Sayangnya, puncak kinerja Evergrande justru terjadi di saat Tingkok memiliki permasalahan demografis, yakni ketika penduduk usia muda dan kelas ekonomi menengah jumlahnya tidak sebesar usia 40-an ke atas. Padahal, permintaan sektor properti umumnya datang dari kelas ekonomi menengah dan usia muda.

“Ketika menjadi masalah, pemerintah Tiongkok untungnya tidak berlepas diri, karena mereka juga yang secara agresif mendorong terjadinya investasi besar-besaran di sektor properti. Akhirnya, kemungkinan ini akan di-bailout. Ini sangat dikontrol pemerintah dan kasus terbesar ada di Evergrande yang punya lini bisnis lebih banyak di dalam negeri, jadi tidak akan menjalar ke luar Tiongkok,” kata Fithra menjelaskan.

Kepada Fortune Indonesia, Fithra menyampaikan bahwa lamanya krisis utang Evergrande akan sangat bergantung pada kecepatan pemerintah Tiongkok mengatasi keadaan. Namun, ia melihat saat ini pun masalah Evergrande dapat dikatakan sudah berangsur mereda. “Pelajarannya, ya dalam menjalankan bisnis, sebaiknya jangan terlalu agresif seperti Evergrande,” ucapnya.

Perkembangan pasar saham Tiongkok yang membaik

Saham Tiongkok dibuka lebih tinggi pada perdagangan Kamis pagi (21/10). Kondisi ini membaik dari penutupan sehari sebelumnya, saat indeks ditutup lebih rendah karena ketidakpastian kebijakan moneter dan krisis utang Evergrande yang masih berkepanjangan.

Melansir Antara (21/10), indikator utama Bursa Efek Shanghai, Indeks Komposit Shanghai naik 0,22% pada 3.594,78 poin. Indeks saham unggulan CSI300 naik 0,36% menjadi 4.928,02 poin. Sedangkan, perusahaan properti melonjak 3,8%.

Terkait krisis utang di sektor properti, Wakil Perdana Menteri Liu He mengatakan bahwa risiko keseluruhan di pasar properti dapat dikendalikan. Ia menyatakan bahwa pasar properti sudah berada di jalur yang sehat.

Related Topics