BUSINESS

Investasi Perhotelan di Asia Pasifik Diramal Tembus US$10 miliar

Faktor eksternal: inflasi, suku bunga pengaruhi investor.

Investasi Perhotelan di Asia Pasifik Diramal Tembus US$10 miliarHotel Mandarin Oriental Jakarta. (Website Mandarin Oriental Jakarta)
24 November 2023
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE  – Investasi hotel di Asia Pasifik diprediksi terkontraksi 14 persen secara tahunan menjadi US$10,1 miliar pada 2023 dibanding tahun sebelumnya. Penurunan ini disebabkan  berbagai faktor eksternal. 

Menurut laporan bertajuk 'Hotel Investment Highlights Asia Pacific' yang dipublikasikan oleh Hotels & Hospitality Group JLL penurunan transaksi dan volume investasi ini disebabkan oleh tekanan kenaikan suku bunga, inflasi, dan ketidakpastian ekonomi global.

Data dan analisis dari JLL menunjukkan, sebagian besar metrik utama mengalami penurunan pada 2023 dibandingkan tahun sebelumnya. Hingga Oktober 2023, total volume investasi yang terlacak oleh JLL mencapai US$5,9 miliar, turun signifikan dari US$9,8 miliar pada periode yang sama tahun 2022.

Rata-rata harga per kunci atau kamar juga lebih rendah selama 2023. Saat ini, rata-rata harga kamar mencapai yaitu US$291.600 dibandingkan dengan US$368.900 pada 2022. 

Menurut JLL, tercatat 130 transaksi hotel di 13 pasar di Asia Pasifik, turun dari 168 kesepakatan selama periode yang sama pada tahun 2022. Selain itu, jumlah kunci hotel yang ditransaksikan hingga 2023 yakni sebesar 24.800, turun dari 27.990 pada periode yang sama pada tahun 2022. 

Kinerja bisnis pasar ini membuktikan, tambahan dari kepercayaan investor dalam jangka panjang terhadap sektor Perhotelan. “Hingga September 2023, pendapatan per kamar yang tersedia (RevPAR) pulih mencapai 95 persen dari level sebelum pandemi, dengan banyak pasar jauh melampaui angka ini dan mencetak rekor baru RevPAR, dan dengan tarif harian rata-rata (ADR) mencapai tingkat tertinggi baru,” tulis JLL dalam laporannya.

Pasar perhotelan antar negara

Pasar hotel di Jepang telah menunjukkan performa kuat sepanjang tahun ini, dengan Pendapatan Per Kamar Tersedia (RevPAR) melebihi tingkat sebelum pandemi dan volume transaksi melampaui $2,2 miliar. 

Pasar hotel mewah dan resor juga mengalami kebangkitan dengan peningkatan sekitar 30 hingga 40 persen dalam tingkat harga harian rata-rata (ADR) dibandingkan 2019, mendorong proyeksi transaksi senilai US$2,9 miliar di Jepang untuk setahun penuh. 

Jacintha Tabalujan Herzog, Kepala Divisi Capital Markets JLL Indonesia mengatakan, tiingkat hunian hotel di kota-kota besar di Indonesia terus menunjukkan tren kenaikan yang menghasilkan RevPar hotel lebih baik dari sebelum masa pandemi. 

Dua transaksi penjualan hotel berbintang di Jakarta pada 2023 dapat memberikan indikasi pemulihan industri perhotelan di Indonesia. “Kinerja hotel di Bali misalnya, dilaporkan membaik walaupun kedatangan kembali grup wisatawan dari negara Tiongkok belum terjadi,” kata Jacintha.

Investasi menurun di Australia

Sementara itu, aktivitas investasi Australia dan Selandia Baru menurun, meskipun terjadi pertumbuhan ADR yang kuat dan pemulihan okupansi yang stabil di kota-kota besar.  Hingga akhir tahun ini, JLL memperkirakan volume investasi sebesar US$960 juta dan memproyeksikan aktivitas pada tahun 2023 akan mencapai lebih dari US$1,7 miliar. 

Pembukaan kembali Hong Kong lebih banyak mencerminkan pemulihan stabil di sektor hotel, dengan jumlah pengunjung saat ini melebihi tahun 2019 dan RevPAR di segmen mewah sama dengan tingkat sebelum pandemi. 

JLL yakin optimistis transaksi di Hong Kong akan mencapai US$900 juta pada akhir 2023 karena kekhawatiran mengenai tarif akan mengimbangi kembalinya wisatawan ke wilayah tersebut. 

Sedangkan, Singapura performa operasional hotel menurut JLL cukup baik, dengan RevPAR naik 13 persen dibandingkan tahun 2019, namun pasar hotel ini termasuk yang jarang diperdagangkan di Asia Pasifik.

Meskipun penutupan PARKROYAL di Jalan Kitchener, yang merupakan transaksi aset tunggal terbesar di Singapura, volume transaksi diperkirakan akan menurun 45 persen pada 2023 menjadi US$500 juta karena aset tetap dalam kendali yang ketat.

Related Topics