API Dorong Tarif Nol Persen Tekstil dan Garmen Indonesia ke AS

- Desakan ditujukan untuk memperjuangkan penurunan tarif ekspor bagi tekstil dan garmen.
- Industri tersebut merupakan tulang punggung penyerapan tenaga kerja nasional.
- Pasar AS memiliki arti strategis bagi industri tekstil dan garmen Indonesia.
Jakarta, FORTUNE - Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mendesak pemerintah agar lebih agresif mengupayakan penurunan tarif ekspor produk tekstil dan garmen ke pasar Amerika Serikat (AS). Langkah ini merupakan respons atas kebijakan pemerintah yang dinilai lebih memprioritaskan komoditas berbasis sumber daya alam (SDA) dalam perundingan dagang dengan Negeri Paman Sam.
Ketua Umum API, Jemmy Kartiwa, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap potensi ketimpangan perlakuan antarsektor. Saat ini, fasilitas tarif 0 persen kabarnya hanya akan diberikan bagi komoditas berbasis sumber daya alam. Sementara itu, produk manufaktur seperti tekstil tetap dibebani tarif resiprokal sebesar 19 persen.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, sebelumnya mengonfirmasi bahwa sektor manufaktur belum masuk dalam daftar fasilitas bebas tarif.
"Yang difokuskan adalah produk berbasis sumber daya alam. Untuk manufaktur, dalam tanda petik, tidak termasuk," tegas Airlangga di Jakarta, Jumat (26/12).
Pemerintah lebih memilih mengusulkan komoditas strategis seperti kelapa sawit, kopi, teh, dan kakao untuk dibebaskan dari bea masuk yang saat ini berada di kisaran 19 persen.
Menanggapi hal tersebut, Jemmy menekankan industri tekstil dan garmen adalah tulang punggung penyerapan tenaga kerja nasional. Menurutnya, pemerintah harus hadir melindungi keberlangsungan dunia usaha yang menaungi jutaan pekerja.
“Maka sebaiknya tidak hanya sektor komoditas agro saja, industri manufaktur produk garmen dan tekstil juga perlu diupayakan agar mendapatkan tarif 0 persen atau setidaknya lebih rendah dari 19 persen yang saat ini masih menjadi tarif acuan,” ujar Jemmy dalam keterangan tertulis, Senin (29/12).
Bagi industri domestik, pasar AS memiliki nilai strategis yang sangat tinggi di tengah ketatnya kompetisi global. Saat ini, posisi Indonesia berada pada level yang sama dengan Kamboja, Malaysia, dan Thailand dengan tarif impor 19 persen.
Vietnam sedikit di atas dengan 20 persen, sedangkan Laos dan Myanmar harus menghadapi tarif hingga 40 persen.
Meski tarif Indonesia terlihat bersaing, Jemmy menilai daya saing tersebut rapuh akibat tingginya beban produksi di dalam negeri. Efisiensi di atas kertas sering kali terserap oleh biaya logistik yang mahal, tingginya harga gas industri, kenaikan upah, hingga beban bunga kredit perbankan yang mencekik.
“Walaupun di atas kertas tarif resiprokal yang diterapkan Presiden Trump kepada Indonesia terlihat lebih rendah, jika dikombinasikan dengan biaya logistik, tarif gas, kenaikan upah pekerja, serta suku bunga kredit perbankan, Indonesia tetap menghadapi indeks kemahalan yang lebih tinggi dibanding negara pesaing,” ujarnya.
Jemmy memberikan contoh Tiongkok dan India yang tetap dominan di sektor padat karya berkat sokongan suku bunga kredit perbankan yang rendah.
Sebagai solusi pragmatis, API menawarkan skema kerja sama timbal balik melalui peningkatan impor kapas dari AS. API berharap komitmen ini menjadi daya tawar bagi Indonesia untuk mendapatkan relaksasi tarif ekspor garmen ke sana.
“Harapannya, produk garmen dan tekstil berbahan baku kapas asal AS yang diekspor kembali ke AS bisa mendapatkan tarif 0 persen atau setidaknya lebih rendah dari 19 persen,” kata Jemmy.
Di sisi lain, perundingan dagang ini juga melibatkan kepentingan AS terhadap akses mineral kritis di Indonesia. Airlangga menyebutkan bahwa pemerintah tengah menyiapkan mekanisme yang sesuai dengan kebijakan nasional guna merespons minat dari berbagai lembaga ekspor dan korporasi AS pada sektor mineral tersebut.

















