Indonesia Siaga Hadapi Badai Tarif Trump, Gencar Perluas Akses Pasar

- Pemerintah Indonesia siap hadapi dampak tarif AS.
- Berpotensi menekan kinerja ekspor dan impor nasional.
- Upaya perluasan akses pasar ke Kanada, UEA, Tunisia, Peru, dan Uni Eropa.
Jakarta, FORTUNE — Pemerintah Indonesia mencermati potensi gejolak perdagangan global akibat kebijakan tarif agresif yang dicanangkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Kementerian Perdagangan menggarisbawahi skema tarif baru Washington berisiko menekan kinerja ekspor dan impor nasional. Kebijakan tarif resiprokal 32 persen dan tarif baseline baru 10 persen, yang menyasar hampir seluruh negara, termasuk Indonesia, telah memicu perhatian serius Jakarta.
“Buat Indonesia, ini berdasarkan kalkulasi kami bisa menurunkan kinerja ekspor maupun impor dengan range yang berbeda-beda untuk masing-masing sektor,” kata Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag, Djatmiko Bris Witjaksono, Senin (21/4).
Ia menambahkan, meskipun angka penurunan kuantitatif belum final, sektor-sektor strategis seperti baja, aluminium, otomotif, beserta komponennya, menghadapi ancaman tarif sektoral tambahan sebesar 25 persen. Djatmiko menjelaskan pemberlakuan tarif sektoral ini akan menggantikan tarif dasar 10 persen dan tarif resiprokal 32 persen untuk komoditas terkait. Namun, risiko tekanan terhadap capaian ekspor tetap signifikan.
“Tarif dasar baru berlaku mulai 5 April 2025, dan tarif resiprokal masih ditunda selama 90 hari. Tapi kalau misalnya sektor baja atau otomotif kita sudah kena tarif sektoral, maka yang lain tidak diberlakukan,” ujarnya.
Menghadapi potensi perlambatan perniagaan ini, pemerintah tidak bersikap pasif. Di tengah tantangan, Indonesia justru mengamati adanya celah potensial bagi masuknya investasi asing langsung (FDI)—sebuah konsekuensi logis dari pergeseran rantai pasok global yang dipicu eskalasi tarif semacam ini.
“Secara kuantitatif memang belum disebutkan angkanya, tapi ada prediksi peningkatan FDI apabila tarif ini berlaku,” ujarnya.
Perluas akses pasar barang-barang Indonesia
Namun, ia menegaskan, strategi utama pemerintah untuk menjaga denyut nadi perdagangan nasional bertumpu pada perluasan akses pasar ke kawasan-kawasan non-tradisional. Upaya konkret tengah digencarkan. Salah satunya adalah penyelesaian Indonesia-Canada Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) yang rampung Desember lalu dan kini menunggu penandatanganan.
“Mudah-mudahan dalam waktu yang tidak lama bisa ditandatangani. Ini bisa jadi pasar alternatif yang sangat menjanjikan, apalagi didukung fasilitasi tarif dan non-tarif di kawasan Amerika Utara,” kata Djatmiko.
Potensi serupa juga dijajaki di Uni Emirat Arab (UEA). Menurut Djatmiko, neraca perdagangan dengan UEA mulai mencatatkan surplus, sinyal positif untuk memperkuat penetrasi ekspor di Timur Tengah.
Pemerintah juga mengakselerasi penyelesaian kesepakatan dagang dengan Tunisia dan Peru, serta mendorong percepatan negosiasi Indonesia-Uni Eropa CEPA dan kerja sama dengan Uni Ekonomi Eurasia—blok ekonomi yang mencakup Rusia, Belarus, Kazakhstan, serta sejumlah negara Asia Tengah dan Eropa Timur.
“Eurasia ini punya potensi luar biasa besar. Kalau kita bisa memiliki perjanjian-perjanjian dagang dengan kawasan ini, akan memperluas jangkauan produk Indonesia di Eropa Timur dan sebagian Asia Tengah,” ujarnya.