Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Lebaran Gagal Dongkrak Ekonomi, Industri Sandang-Pangan Lesu

Ilustrasi masyarakat belanja kebutuhan Lebaran.
Ilustrasi masyarakat belanja kebutuhan Lebaran. (ANTARA FOTO/Anis Efizudin)
Intinya sih...
  • Sektor sandang dan pangan mengalami kontraksi pasca-Lebaran tahun ini
  • Ketua Umum GAPMMI menyatakan ketidaksesuaian harapan, dengan masa vakum yang semakin panjang
  • Kekhawatiran terbesar tertuju pada kuartal kedua dan ketiga tahun ini; butuh stimulus pemerintah untuk meningkatkan daya beli masyarakat

Jakarta, FORTUNE - Momen Lebaran yang sedianya menjadi penopang utama konsumsi nasional tahun ini justru tidak berdaya mendongkrak kinerja sektor sandang dan pangan. Alih-alih menikmati lonjakan permintaan, pelaku usaha pada dua sektor krusial ini justru menghadapi kenyataan pahit: kontraksi yang berlanjut bahkan setelah periode Ramadan berakhir. Kekhawatiran mendalam pun membayangi prospek bisnis ke depan.

Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S. Lukman, menyatakan suasana pasca-Lebaran tahun ini benar-benar di luar harapan. Ia mengatakan tidak ada kegembiraan di kalangan pengusaha makanan dan minuman, sebuah kontras tajam dengan momen hari raya sebelumnya.

"Lebaran kali ini kita sulit tersenyum. Seolah-olah tidak ada Lebaran," kata Adhi dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa malam (14/5).

Ia menambahkan bahwa jeda panjang antara perayaan hari besar sebelumnya, hingga Lebaran kali ini, ditambah antisipasi masa sepi hingga akhir tahun, menciptakan kevakuman panjang yang menguras arus kas pelaku industri.

Kondisi tersebut telah menjadi perhatian serius, berdampak langsung pada perputaran ekonomi domestik. Kekhawatiran terbesar kini tertuju pada kuartal kedua dan ketiga tahun ini, masa yang diproyeksikan menjadi ujian berat karena minim pendorong konsumsi signifikan dari hari besar nasional.

Menghadapi tantangan tersebut, Adhi mendesak pemerintah segera menggelontorkan stimulus yang efektif dan tepat sasaran guna mengerek daya beli masyarakat. Tanpa intervensi fiskal, ia khawatir pertumbuhan ekonomi akan terkoreksi.

"Kalau tidak ada intervensi dari pemerintah, saya khawatir akan terjadi koreksi pertumbuhan. Karena sampai sekarang belum terlihat ada momentum besar yang bisa mendorong konsumsi," ujarnya.

Industri makanan dan minuman berpotensi merevisi target pertumbuhan. Adhi mengakui adanya potensi koreksi, meski keputusan final belum diambil. Sektor ini tahun lalu masih mampu tumbuh sekitar lima persen, tapi pencapaian serupa kini terasa sangat berat di tengah kelesuan daya beli.

Kondisi serupa, bahkan cenderung lebih parah, melanda sektor sandang. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, menggambarkan situasi industri tekstil kini lebih memprihatinkan ketimbang era 1990-an.

Jemmy menyoroti kebijakan deregulasi impor yang dinilai perlu dilakukan secara hati-hati. Ia menekankan pentingnya membedakan sektor yang memang butuh relaksasi aturan dengan industri dalam negeri yang sudah mandiri. Pelonggaran tanpa pandang bulu dikhawatirkan menjadi celah masuknya produk impor murah yang merusak harga pasar domestik.

"Kalau stok barang luar negeri dibuang ke Indonesia, industri dalam negeri akan makin menderita," kata Jemmy.

Ia melanjutkan, alih-alih membuka lapangan kerja, situasi ini justru berpotensi memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) baru.

Polemik terkait kebijakan impor ini mengerucut pada revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, yang disebut akan menata ulang delapan sektor. Jemmy berharap aturan baru ini benar-benar memperkuat daya saing industri tekstil nasional, bukan malah memperlemahnya di tengah tekanan global, termasuk dampak tarif dagang dari Amerika Serikat.

Menanggapi dinamika ini, Presiden Prabowo Subianto sebelumnya mengisyaratkan kemungkinan pencabutan Permendag 8 Tahun 2024. Presiden menekankan setiap regulasi pemerintah wajib berorientasi pada kepentingan nasional dan membawa manfaat konkret bagi rakyat. Permendag 8 memang disinyalir menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya gelombang PHK pada beberapa sektor.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Bonardo Maulana
EditorBonardo Maulana
Follow Us