BUSINESS

Sahamnya Berpotensi Terdepak Dari Bursa, Begini Respons Dirut Garuda

Garuda memastikan restrukturisasi takkan menganggu layanan.

Sahamnya Berpotensi Terdepak Dari Bursa, Begini Respons Dirut GarudaShutterstock_eXpose
22 December 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Sudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin itu istilah yang pas untuk menggambarkan kondisi PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk saat ini. Di tengah kemerosotan kinerja serta ikhtiar restrukturisasi utang, maskapai BUMN itu harus menghadapi perkara lain: berpotensi terdepak (delisting) dari bursa saham Indonesia.

Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra, mengatakan perihal informasi mengenai potensi delisting saham perseroan, manajemen menyampaikan bahwa Garuda Indonesia terus memberikan perhatian penuh terhadap hal tersebut.

“Untuk itu, saat ini kami tengah fokus melakukan upaya terbaik dalam percepatan pemulihan kinerja melalui proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) guna menghasilkan kesepakatan terbaik dalam penyelesaian kewajiban usaha. Dengan begitu, nantinya saham Garuda dapat kembali diperdagangkan seperti sedia kala,” kata Irfan dalam keterangan resmi kepada Fortune Indonesia, Selasa (21/12).

Dalam keterbukaan informasi pada Senin (20/12), Bursa Efek Indonesia (BEI) mengumumkan bahwa Garuda Indonesia berpotensi delisting. Pengumuman BEI itu disampaikan melalui sebuah surat yang ditandatangani oleh Kepala Divisi Penilaian Perusahaan 2 BEI Vera Florida dan Kepala Divisi Pengaturan dan Operasional Perdagangan Irvan Susandy.

BEI dapat menghapus saham Garuda Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut. Pertama, mengalami kondisi atau peristiwa yang secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha baik secara finansial atau hukum, atau terhadap kelangsungan status perusahaan terbuka, dan perusahaan tidak dapat menunjukkan indikasi pemulihan memadai. Kedua, saham perusahaan yang akibat suspensi di pasar reguler dan pasar tunai hanya diperdagangkan di pasar negosiasi sekurang-kurangnya selama 24 bulan terakhir.

“Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka saham Garuda Indonesia telah disuspensi selama 6 bulan dan masa suspensi akan mencapai 24 bulan pada 18 Juni 2023,” demikian pernyataan BEI. Sebagai informasi, saham GIAA sudah disuspensi sejak 18 Juni 2021. Kala itu, harga sahamnya mencapai Rp222 per saham.

Menurut Irfan, perusahaan lebih lanjut akan mengoptimalkan momentum PKPU dalam mengakselerasikan langkah pemulihan kinerja. Hal itu agar perusahaan lebih sehat, agile dan berdaya saing.

Proses PKPU

Garuda Indonesia saat ini berstatus PKPU Sementara usai diputuskan oleh Pengadilan Niaga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (9/12). Maskapai BUMN ini digugat PKPU oleh PT Mitra Buana Korporindo, perusahaan yang bergerak di bidang teknologi informasi.

Irfan dalam keterangan sama mengatakan perseroan telah mengikuti rapat kreditur pertama melalui proses PKPU Sementara. Manajemen Garuda Indonesia dalam kesempatan itu turut menjelaskan kondisi terkini dan tantangan kinerja termasuk menyampaikan skema rencana perdamaian sebagai bagian dari proses restrukturisasi.

Dia menegaskan, sebagaimana disampaikan oleh tim pengurus, bahwa PKPU bukanlah proses kepailitan, melainkan sebuah upaya mencapai kesepakatan terbaik dalam penyelesaikan kewajiban usaha terhadap kreditur. Menurutnya, perusahaan secara konsisten mengendepankan komitmen transparansi dan good faith. Harapannya, proses PKPU dapat berlangsung optimal, efisien, dan adil bagi seluruh pihak.

“Selama proses PKPU berlangsung, Garuda Indonesia memastikan layanan operasional penerbangan baik untuk penumpang maupun kargo tetap tersedia secara optimal,” ujarnya.

Berdasarkan laporan keuangan pada kuartal ketiga 2021, Garuda Indonesia masih rugi, yang mencapai US$1,66 miliar atau setara Rp23,69 triliun (asumsi kurs Rp14.250). Sedangkan, ekuitas (modal) perusahaan tercatat negatif, yakni sekitar US$3,61 miliar atau setara Rp51,38 triliun. Padahal, maskapai tersebut di saat sama memiliki total kewajiban (liabilitas) US$13,03 miliar atau setara Rp185,64 triliun.

Related Topics