PwC: 1 dari 4 Bisnis Keluarga di Indonesia Punya Family Office

Jakarta, FORTUNE – Semakin banyak keluarga pengusaha di Indonesia yang menyadari pentingnya kelembagaan bisnis mereka. PwC Family Business Survey 2025 mengungkapkan, satu dari empat bisnis keluarga di Indonesia (27 persen) telah memiliki family office, sedikit di bawah rata-rata global (33 persen).
Sementara itu, kinerja bisnis keluarga semakin beragam. Hampir 90% bisnis keluarga secara global, termasuk Indonesia, mengakui bahwa tingkat persaingan pasar semakin ketat. Survei yang melibatkan 1,325 bisnis keluarga di 62 negara dan teritori, termasuk Indonesia, mengungkapkan bahwa megatren global memberikan dampak signifikan terhadap bisnis keluarga.
Volatilitas ekonomi muncul sebagai isu paling mendesak, baik di Indonesia (63 persen) maupun global (58 persen). Bagi bisnis keluarga di Indonesia, tantangan perpajakan (49 persen) menjadi perhatian utama. Sebaliknya, secara global, isu utama adalah kekurangan tenaga kerja dan tantangan terkait sumber daya manusia (47 persen). Menariknya, isu tenaga kerja justru menjadi salah satu perhatian paling rendah bagi bisnis keluarga di Indonesia.
Kepemimpinan dalam proses transisi
Dalam mempersiapkan NextGen, para penerus bisnis keluarga di Indonesia menghadapi tantangan unik: 43 persen menyebut resistensi dari pemimpin senior sebagai hambatan utama dalam proses transisi kepemimpinan, lebih tinggi dibanding rata-rata global (29 persen). Temuan ini sejalan dengan persepsi 39 persen responden yang melihat transisi kepemimpinan sebagai sebuah risiko, dibandingkan 27 persen yang menganggapnya sebagai peluang dan 34 persen yang bersikap netral.
Selain itu, survei juga mengungkapkan bahwa 19 persen bisnis keluarga di Indonesia cenderung menunda proses suksesi karena kondisi ketidakpastian, jauh lebih tinggi dibandingkan angka global (10 persen). Meskipun demikian, dewan direksi di Indonesia cenderung lebih terbuka terhadap perspektif generasi muda, dengan 55 persen memiliki pemimpin berusia di bawah 40 tahun, jauh lebih tinggi dari rata-rata global (41 persen). Keragaman gender dalam kepemimpinan bisnis keluarga di Indonesia juga menunjukkan tren positif, dengan 70 persen bisnis keluarga di Indonesia melibatkan perempuan di jajaran direksi, dibandingkan angka global (68 persen).
Di tengah volatilitas ekonomi, agility dan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan menjadi kunci agar bisnis keluarga dapat berkembang pesat. Ketika ditanya tentang faktor pendukung terpenting bagi bisnis keluarga untuk beradaptasi, survei menunjukkan 54 persen bisnis keluarga di Indonesia dan global setuju bahwa kepemimpinan yang kuat dan struktur tata kelola yang efektif merupakan contributor utama yang mendorong kemampuan beradaptasi tersebut.
Marcel Irawan, PwC Indonesia Private Leader, menyampaikan, “Harapan pertumbuhan bisnis keluarga di Indonesia sejalan dengan kondisi global: era pertumbuhan pendapatan dua digit sudah berlalu,” ujarnya (27/12).
Bisnis keluarga di era AI
Bisnis keluarga semakin memusatkan perhatian pada peluang pertumbuhan baru. Sejalan dengan tren global, bisnis keluarga di Indonesia juga menempatkan kemajuan teknologi dan transformasi digital sebagai prioritas utama, dengan lebih dari separuh (55 persen) mengidentifikasi area tersebut sebagai area kritis, terutama di kalangan perusahaan menengah yang sedang melakukan ekspansi.
Menariknya, 61 persen bisnis keluarga secara global telah mengidentifikasi AI sebagai pendorong pertumbuhan utama, melihat potensinya untuk meningkatkan keterlibatan pelanggan dan mendorong perbaikan. Namun, pandangan ini belum sepenuhnya diadopsi oleh bisnis keluarga di Indonesia, di mana 60 persen masih memandang AI sebagai risiko, setara dengan kekhawatiran besar lainnya seperti kondisi ekonomi, termasuk inflasi dan resesi. Integrasi AI dinilai berpotensi mengganggu model bisnis yang ada, alur kerja, atau peran karyawan, sehingga dianggap sebagai suatu ancaman, terutama bagi bisnis keluarga dengan praktik yang telah berlangsung lama.
Bisnis keluarga hadapi volatilitas
Sebagai respons terhadap guncangan makroekonomi, banyak bisnis keluarga kini memprioritaskan strategi pertumbuhan yang stabil untuk memperkuat tujuan jangka panjang mereka. Fokus ini mencakup upaya menjaga bisnis sebagai aset keluarga (75 persen di Indonesia vs. 78 persen secara global) dan melestarikan warisan keluarga (73 persen di Indonesia vs. 77 persen secara global).
Komitmen terhadap keberlanjutan juga tercermin dalam praktik pengelolaan kekayaan: satu dari empat bisnis keluarga di Indonesia (27 persen) telah memiliki family office, sedikit di bawah rata-rata global (33 persen). Dari jumlah tersebut, mayoritas bisnis keluarga di Indonesia (72 persen) mengoperasikan model single-family office, dibandingkan 67 persen secara global, menunjukkan preferensi kuat untuk menjaga kendali dan kerahasiaan dalam pengelolaan kekayaan keluarga.
Menariknya, bisnis keluarga di Indonesia menunjukkan kecenderungan lebih besar untuk membagikan dividen kepada anggota keluarga (70 persen vs 68 persen secara global) dan menyediakan peluang kerja bagi anggota keluarga (31 persen vs 27 persen secara global).
Reputasi juga dianggap sangat penting oleh sebagian besar bisnis keluarga, dengan 69 persen bisnis keluarga di Indonesia menyatakan hal ini sangat krusial, meskipun sedikit lebih rendah dibandingkan angka global (78 persen). Selain itu, 43 persen bisnis keluarga di Indonesia menyebut liputan media negatif sebagai risiko terbesar terhadap reputasi mereka, sejalan dengan kekhawatiran global (40 persen).
Membuka peluang pertumbuhan
Untuk tumbuh dengan percaya diri, survei PwC menyoroti empat fokus area yang membedakan para pelaku bisnis terbaik:
• Memperkuat tujuan bisnis. Tujuan yang jelas dan terdefinisi menjadi fondasi bagi berbagai kapabilitas yang mendorong pertumbuhan.
• Mengoptimalkan structural-agility. Bisnis keluarga yang berkinerja tinggi secara aktif memanfaatkan pengambilan keputusan terpusat.
• Mengoptimalkan “modal jangka panjang”. Di tengah ketidakpastian makroekonomi dan volatilitas geopolitik, modal jangka panjang terbukti menjadi mesin pertumbuhan.
• Menjaga dan mengoptimalkan reputasi. Bagi bisnis keluarga, reputasi bukan hanya warisan yang harus dijaga, tetapi juga aset penting untuk mendorong pertumbuhan.
Jonathan Flack, PwC US Global Private Leader, mengatakan, selama ini bisnis keluarga dianggap lebih tangguh dibandingkan perusahaan publik, namun kini banyak yang menghadapi tekanan besar. “Perubahan kebijakan perdagangan, ketidakpastian rantai pasok, dan volatilitas pasar membuat bisnis keluarga cenderung berhati-hati, memprioritaskan reputasi dan warisan. Meski pertumbuhan tetap kuat, persentase yang mencapai pertumbuhan dua digit secara historis telah menurun,” ujarnya
Marcel Irawan menambahkan bahwa di tengah iklim ketidakpastian saat ini, bisnis keluarga harus agile, bukan hanya dalam operasional, tetapi juga dalam pola pikir. “Transformasi tidak selalu berarti perubahan radikal; tetapi juga berkaitan dengan keterbukaan terhadap peluang baru, investasi pada kapabilitas digital, dan menyelaraskan tujuan dengan value creation jangka panjang. Bisnis yang akan bertahan adalah bisnis yang dilakukan dengan kejelasan, keberanian, dan komitmen terhadap nilai legacy-nya.”

















