BUSINESS

Tren Berhenti Kerja di AS Belum Reda, Muncul Fenomena Perombakan CEO

Terjadi perombakan kepemimpinan besar-besaran.

Tren Berhenti Kerja di AS Belum Reda, Muncul Fenomena Perombakan CEOIlustrasi kerja sama. (Pixabay/Tumisu)

by Tanayastri Dini Isna KH

15 December 2021

Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Fenomena pengunduran diri massal (Great Resignation) tengah marak di kalangan pekerja Amerika Serikat (AS). Tak lama fenomena tersebut berlangsung, kini muncul tren baru perombakan besar (Great Reshuffle) di kalangan petinggi perusahaan publik di bursa  AS yang mengundurkan diri. Pergantian CEO meningkat, begitu pula dengan berubahnya dewan direksi.

Mengutip laman Fortune.com, survei PwC terhadap 800 direktur perusahaan menyebut, 47 persen responden percaya rekannya di dewan direksi harus diganti. Sementara hampir seperlima (18 persen) menginginkan agar direktur hengkang dari perusahaan.

Di satu sisi, direktur melaporkan tingkat konflik yang lebih tinggi dengan rekannya. Di sisi lain, perusahaan juga mencari dewan dengan keahlian dan pengalaman yang lebih luas. Dengan kondisi ini, maka lahirlah tekanan untuk memenuhi standar bisnis yang tinggi.

Apalagi, selama pandemi, cara kerja dewan direksi sedikit berubah. “Jabatan direktur benar-benar menjadi sebuah pekerjaan,” ujar Wakil Presiden Senior di National Association for Corporate Directors, Friso van der Oord. “Itu pekerjaan yang sulit.”

Akselerasi Pergantian Direksi dan CEO pada 2022

Oleh karena itu, risiko pergantian direksi dan CEO pada 2022 diramal bakal lebih tinggi ketimbang 2021. Bahkan, efek bergandanya akan lebih signifikan.

Menurut perusahaan konsultan Challenger & Gray, pada Juli 2020 tingkat pengunduran diri CEO mulai setara dengan sebelum pandemi. Heidrick & Struggles pun melaporkan peningkatan pada 2021.

Dewan Praktik Global Heidrick, Jeff Sanders mengatakan, “Kami yakin fenomena itu hanya akan mengakselerasi (hal serupa) pada 2022, karena banyak orang telah menunda masa pensiunnya.”

Challenger & Gray juga berhipotesis, kelangkaan kandidat eksternal selama pandemi juga telah menghambat pergantian CEO tahun ini. Terpenting, perusahaan juga harus memikirkan matang-matang penerus tongkat kepemimpinannya.

“Jelas dewan direksi menghabiskan waktu yang lama untuk perencanaan suksesi, baik untuk CEO ataupun manajemen level C, serta memenuhi ketentuan komposisi dewannya,” kata Ketua Eksekutif Dewan di Deloitte AS, Janet Foutty.

Perombakan Besar-Besaran (The Great Reshuffle)

Survei Executive Perspectives on Top Risks for 2022 and 2031 memproyeksikan, dalam kurun 10 tahun ke depan ada dua kesulitan yang perusahaan hadapi saat ingin mengganti pemimpin. Pertama, peningkatan keterampilan calon pimpinan dan kesuksesan penerusnya. Kedua, beradaptasi dengan peraturan baru dan model kerja daring-luring (hibrida).

Bila pemimpin tak mampu mengubah cara ‘menggembalakan’ perusahaan di masa transformasional itu, maka perusahaan harus mengeksplor inovasi dan hal baru.

Menurut mantan CEO dan Ketua Dewan Unilever, Paul Polman, guna mengubah pola pikir yang menghambat kemajuan perusahaan diperlukan perombakan kepemimpinan besar-besaran. Yang pada akhirnya bisa melahirkan ‘The Great Reshuffle’ atau perombakan besar-besaran.