Riset: Gen Z Generasi Paling Rentan dalam Menghadapi Tekanan Inflasi

- Sebanyak 63% responden Baby Boomer merasa aman secara finansial, dibandingkan 49% Gen-Z.
- Fokus keuangan bergeser ke tujuan jangka pendek.
- Kesenjangan ketahanan finansial antara kelompok dengan ketahanan tinggi dan rendah.
Jakarta, FORTUNE – Gen-Z (generasi yang lahir pada 1997-2012) tercatat sebagai kelompok paling rentan secara finansial dan memiliki ketahanan jangka panjang terendah. Hal ini terungkap dari studi terbaru Sun Life bertajuk: Sun Life Asia Financial Resilience Index: Balancing Today’s Needs and Tomorrow’s Goals, yang menjelaskan secara detail mengenai bagaimana masyarakat indonesia mengelola keuangan di tengah tantangan ekonomi yang terus berkembang.
Meski terjadi sedikit peningkatan dalam persepsi terhadap kemapanan finansial secara keseluruhan, laporan ini mengungkapkan adanya kesenjangan ketahanan finansial yang signifikan antar generasi.
Gen-Z tercatat sebagai kelompok paling rentan secara finansial. Sebagai perbandingan, sebanyak 63 persen responden baby boomer mengaku aman secara finansial, jauh di atas responden gen-z yang mencapai 49 persen.
Kelompok usia muda ini juga menunjukkan tingkat kepercayaan diri dan kematangan perencanaan finansial yang paling rendah di antara seluruh kelompok usia. Hanya 49 persen dari mereka yang merasa aman secara finansial, dibandingkan 61 persen millennial dan 63 persen baby Boomer.
Sebanyak 58 persen gen-z juga menyebut diri mereka sebagai investor konservatif. Hal ini menunjukkan kecenderungan untuk menghindari risiko dan kemungkinan akan kurangnya pemahaman terhadap pentingnya menyeimbangkan risiko dan imbal hasil jangka panjang.
Lebih dari itu, lebih dari seperempat gen-z (29 persen) tidak mencari bantuan atau nasihat dalam membuat keputusan finansial mereka. Angka ini menjadi yang tertinggi dibandingkan kelompok usia lainnya. Padahal, generasi ini justru menjadi kelompok yang paling membutuhkan panduan dan struktur dalam membangun masa depan finansialnya.
Menariknya, 21 persen dari gen-z mengandalkan aplikasi berbasis kecerdasan buatan (AI) untuk melakukan konsultasi keuangan, sedangkan millennial hanya 21 persen, Gen X 9 persen, dan Baby Boomer 11 persen.
Kah jing Lee, Chief Client and Distribution Officer Sun Life Indonesia, mengatakan, gen z memiliki waktu yang panjang untuk merancang masa depan keuangan mereka, tetapi banyak dari mereka justru diliputi kekhawatiran dan keraguan.
“Mereka tumbuh dalam era ekonomi yang penuh ketidakpastian dan tekanan biaya hidup yang tinggi. Meningkatkan literasi finansial serta memperluas akses terhadap informasi terpercaya dapat menjadi kunci dalam membantu mereka membangun ketahanan finansial jangka panjang,” katanya dalam keterangan tertulis, Jumat (27/6).
Fokus Keuangan di Tengah Inflasi

Inflasi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir membuat banyak orang kesulitan menyeimbangkan kebutuhan harian dan rencana keuangan jangka panjang mereka.
Berdasarkan hasil riset ini terungkap, bahwa sebanyak 92 persen responden mengaku merasakan langsung dampak dari inflasi, dan 46 persen menyatakan hal tersebut berdampak besar terhadap kemampuan mereka memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Akibatnya, fokus keuangan masyarakat bergeser ke tujuan jangka pendek. Sebanyak 62 persen responden menyatakan bahwa mengelola uang untuk kebutuhan sehari-hari adalah prioritas utama, sedikit menurun dari 63 persen pada 2024. Sementara itu, perencanaan pensiun yang sebelumnya menempati posisi kedua kini turun menjadi peringkat kelima. Situasi ini menunjukkan bahwa masyarakat kini lebih memprioritaskan kebutuhan sehari-hari dibandingkan dengan perencanaan pensiun yang sebelumnya menjadi salah satu fokus utama.
Dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu, menabung untuk dana darurat kini menjadi prioritas kedua yang paling penting (42 persen).
Namun, kesiapan masyarakat untuk membangun ketahanan finansial jangka panjang masih tergolong rendah. Lebih dari separuh responden (55 persen) belum memiliki rencana keuangan lebih dari 12 bulan ke depan. Hanya 9 persen yang mempersiapkan rencana keuangan hingga lebih dari 10 tahun ke depan. Artinya, perencanaan jangka panjang yang dibutuhkan untuk mencapai ketahanan finansial yang berkelanjutan masih minim.
Kah jing Lee mengatakan, laporan ini memperlihatkan adanya kesenjangan yang semakin jelas antara mereka yang secara aktif merencanakan masa depan finansialnya dan mereka yang masih terjebak memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di tengah situasi ekonomi yang penuh tantangan, literasi dan perencanaan keuangan menjadi semakin penting.
Kesenjangan ketahanan finansial

Laporan ini juga menyoroti perbedaan yang cukup signifikan antara individu yang memiliki ketahanan finansial tinggi dan mereka yang memiliki ketahanan rendah.
Kelompok dengan ketahanan finansial tinggi mampu menghadapi tantangan ekonomi tanpa harus mengorbankan tujuan finansial jangka panjang. Selain itu, mereka lebih memprioritaskan dana darurat (45 persen) dan pendidikan diri atau anak-anak (38 persen).
Sebaliknya, individu dengan ketahanan finansial rendah lebih fokus pada pelunasan utang (53 persen) dan dana darurat (45 persen). Hanya 27 persen dari mereka merasa mampu memenuhi kebutuhan jangka pendek, dan hanya 15 persen yang yakin dapat mencapai tujuan finansial jangka panjang. Bahkan, 68 persen dari kelompok ini menyatakan tidak akan mampu bertahan lebih dari enam bulan jika kehilangan pekerjaan atau mengalami gangguan kesehatan serius.
Sementara itu, kelompok berketahanan tinggi menunjukkan keyakinan yang lebih besar (81 persen) merasa mampu memenuhi kebutuhan jangka pendek, diikuti 87 persen yakin akan mencapai tujuan tabungan jangka panjang. Sebanyak 51 persen bahkan percaya diri dapat bertahan lebih dari enam bulan dalam situasi darurat. Mereka juga cenderung lebih proaktif dalam mengelola keuangan, di mana 44 persen berkonsultasi dengan penasihat keuangan, 50 persen secara rutin mempelajari topik-topik keuangan, dan 48 persen aktif berinvestasi.