Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
For
You

GIA Tetapkan Standar Baru Berlian, Peta Kemewahan Global Berubah

ilustrasi berlian (unsplash.com/Bas van den Eijkhof)
ilustrasi berlian (unsplash.com/Bas van den Eijkhof)

Jakarta, FORTUNE - Harga berlian terus kehilangan kilaunya. Dalam tiga tahun terakhir, harga berlian alami turun hingga 26 persen, sementara harga berlian hasil laboratorium (lab-grown) anjlok lebih dalam hingga 86 persen sejak 2016. Kemerosotan harga yang tajam ini mencerminkan perubahan struktural di pasar batu mulia global. Demikian diungkap Direktur Komoditas Eurasia Group, Tim Puko, melansir GZERO.

Ia menilai permintaan bergeser seiring konsumen, khususnya generasi muda, memilih berlian buatan karena alasan etika, keberlanjutan, dan harga yang lebih terjangkau. Survei The Knot juga menunjukkan lebih dari separuh pasangan di AS kini memilih berlian lab-grown untuk cincin pertunangan mereka.

“Dahulu, orang berpikir berlian hanya bisa terbentuk selama ribuan tahun dan hanya keaslian tertinggi yang diterima. Namun kini, seperti banyak komoditas lain, ada cara untuk mereplikasi berlian dengan kualitas yang memadai bagi konsumen. Karena itu, pertumbuhan berlian lab-grown sangat pesat dan harga pun anjlok tajam," ujar Puko.

Penurunan nilai yang ekstrem ini mendorong lembaga sertifikasi global Gemological Institute of America (GIA) untuk mengubah sistem klasifikasinya. Mulai bulan depan, GIA akan memperkenalkan dua kategori baru, yakni “premium” dan “standard” untuk menilai berlian sintetis, menggantikan sistem lama “empat C” (clarity, carat, cut, colour) yang selama puluhan tahun menjadi standar penilaian berlian alami.

“Sudah tidak relevan bagi GIA untuk mendeskripsikan berlian buatan dengan nomenklatur yang diciptakan untuk kontinuum warna dan kejernihan berlian alami,” ujar Tom Moses, Chief Laboratory and Research Officer GIA, mengutip Financial Times.

Langkah ini dianggap sebagai sinyal bahwa industri tengah mencari arah baru di tengah pasar yang jenuh. Sekitar 95 persen berlian sintetis memiliki warna dan kejernihan yang seragam, sehingga GIA menilai skala tradisional tak lagi mencerminkan perbedaan kualitas secara efektif.

Namun, di balik inovasi klasifikasi ini, tantangan lain terus membayangi: banjir pasokan. Produksi besar-besaran dari Tiongkok dan India yang menyumbang 70 persen output global membuat harga eceran berlian sintetis turun hingga 76 persen sejak 2018, menurut data Natural Diamond Council (NDC). Sebaliknya, margin ritel justru naik dari 46 persen menjadi 84 persen, menandakan penurunan harga belum sepenuhnya dirasakan oleh konsumen.

Menimbang ancaman dan peluang

CEO NDC, David Kellie, menilai penurunan harga tak lepas dari lemahnya pengawasan terhadap klaim keberlanjutan produk lab-grown. “Perlindungan konsumen adalah hal utama bagi industri berlian alami, dan hal itu menuntut keterbukaan produk,” kata Kellie, mengutip Financial Times.

Sementara itu, pelaku industri berlian berkelanjutan seperti Skydiamond di Inggris menilai sistem klasifikasi baru GIA belum cukup progresif. “Ada kesalahpahaman besar bahwa semua berlian sintetis sama. Padahal tidak. Batu kami secara desain bersifat karbon-negatif. Sistem baru GIA seharusnya juga mempertimbangkan jejak emisi dan keberlanjutan lingkungan,” ujar Madeleine Macey, CEO Skydiamond.

Gelombang berlian buatan dari Asia juga menjadi ancaman bagi produsen independen yang fokus pada nilai hijau. “Itu salah satu ancaman terbesar bagi bisnis kami dan bagi gerakan keberlanjutan,” tambah Macey.

Sementara di sisi lain pasar, perusahaan perhiasan seperti Fei Liu Fine Jewellery justru melihat peluang di tengah penurunan harga. “Pembeli muda memilih berlian sintetis karena lebih terjangkau,” kata Fei Liu, desainer asal Birmingham, yang baru meluncurkan koleksi Celestia dengan batu sintetis 0,50 karat. Namun, ia memperkirakan persepsi akan berubah ketika konsumen menyadari berlian sintetis tidak memiliki nilai jual kembali.

Dampak pasar ini terasa hingga ke tingkat negara. Botswana, yang selama ini menggantungkan 90 persen ekspornya pada berlian tambang, kini menghadapi resesi berat akibat merosotnya permintaan global. Krisis harga juga mengguncang politik domestik Botswana. “Tidak ada tempat lain di mana penjualan berlian memiliki arti sebesar di sana,” kata Puko.

Industri berlian kini berada di persimpangan, antara tekanan ekonomi dan produksi berlebih. Di sisi lain, perubahan paradigma dan sistem penilaian baru yang berpotensi membentuk ulang standar kemewahan dunia. “Untuk masa depan yang dapat diperkirakan saat ini, saya tidak melihat ada penyelamat nyata bagi berlian konvensional dan negara-negara penghasilnya,” ujar Puko.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Pingit Aria
EditorPingit Aria
Follow Us

Latest in Luxury

See More

GIA Tetapkan Standar Baru Berlian, Peta Kemewahan Global Berubah

16 Okt 2025, 10:52 WIBLuxury